Oleh: Agus Harimurti Yudhoyono, Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute
Jika para pemimpin dunia duduk bersama, menghilangkan ego masing-masing, bekerja sama mencari solusi terbaik bagi dunia, dengan mengedepankan pemikiran ”win-win solution”, kita bisa mengatasi megakrisis global.
Prospek wajah 2023 agak suram. Bank Dunia dan IMF memprediksi dunia akan mengalami resesi ekonomi tahun depan. Sementara perang di Ukraina semakin intensif, belum ada tanda akan berakhir. Perubahan iklim juga memperburuk kondisi global dengan banyaknya bencana.
Isu-isu besar inilah yang dibahas para mantan kepala negara dan kepala pemerintahan yang tergabung dalam Club de Madrid, di Berlin, Jerman, pada 31 Oktober-1 November 2022. Forum dialog ini diinisiasi oleh Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono, bersama The Yudhoyono Institute, bekerja sama dengan Club de Madrid, Kementerian Luar Negeri Jerman, dan Liz Mohn Center.
Bagi penulis, berpartisipasi dalam acara tersebut melengkapi pengalaman kontribusi dalam upaya mewujudkan perdamaian dunia. Bedanya, tahun 2006, penulis lakukan di lapangan, bersama pasukan perdamaian dunia PBB di Lebanon. Kali ini, penulis lakukan di meja diplomasi bersama lebih dari 20 mantan pemimpin dunia.
Membangun optimisme
Sebagai co-host dari acara ini, selain menyumbang pemikiran, penulis juga membangun optimisme bahwa jika kita bersatu menghadapi masalah dengan fokus serta penuh kesabaran dan ketekunan, maka serumit apa pun, tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan.
Tahun 2008 kita pernah mengalami krisis keuangan global, krisis flu burung, kebakaran hutan, dan krisis lainnya. Selain itu, kita juga masih melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi akibat tsunami tahun 2004. Alhamdulillah, kita berhasil mengatasi krisis tersebut. Itu semua karena kepemimpinan yang efektif dan keterlibatan seluruh elemen bangsa ketika itu.
Optimisme ini juga diinspirasi dari kunjungan penulis ke Potsdam, di dekat Berlin (30/10/2022). Potsdam adalah situs bersejarah, tempat bertemunya ”the Big Three”, tiga pemimpin dunia dari Amerika Serikat, Inggris, dan Rusia di tahun 1945. Mereka bertemu untuk bersama-sama mencari solusi Perang Dunia II, guna menciptakan perdamaian dan membangun dunia yang lebih baik untuk semua pihak. Alhamdulillah, Perang Dunia II bisa diakhiri.
Permasalahan yang dibahas
Para peserta Berlin Policy Dialogue 2022 sepakat bahwa dunia sedang mengalami krisis multidimensi, yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebuah megakrisis global. Spektrumnya sangat luas, mulai dari perang di Ukraina, ancaman resesi ekonomi dunia, krisis energi, krisis pangan, dan perubahan iklim, hingga melemahnya peran lembaga multilateral.
Perang di Ukraina menghadirkan dampak berat bagi dunia. Tragedi kemanusiaan di Ukraina begitu mengenaskan. Banyak warga yang terpisah dari keluarganya. Ada lebih dari 15 juta pengungsi di pihak Ukraina. Persoalan bukan hanya keselamatan jiwa, melainkan juga persoalan sosial yang berkepanjangan.
Selain jatuhnya puluhan ribu korban manusia, juga muncul krisis pangan, energi, dan keuangan. Rusia menutup pasokan energinya ke Eropa, yang menyebabkan harga komoditas meningkat pesat. Begitu juga komoditas pangan yang dieskpor dari Ukraina merosot tajam.
Indonesia juga terkena dampaknya. Pemerintah menaikkan harga bahan bakar. Pertumbuhan ekonomi menurun. Inflasi meningkat secara signifikan. Bahkan mengarah ke stagflasi. Daya beli masyarakat pun menurun. Isu-isu ini yang juga penulis temui di lapangan saat berkeliling Nusantara menemui rakyat.
Dampak dari perang di Ukraina itu diperparah dengan kenaikan suku bunga dollar AS oleh Bank Sentral AS. Dollar AS kembali ke negara asalnya. Banyak negara yang jatuh tempo untuk melakukan pembayaran utang dalam dollar AS kelabakan. Utang global pun meroket.
Sementara itu, para peserta dialog juga memiliki kekhawatiran gagalnya agenda Net Zero Emissions (NZE) di pertengahan abad ini. NZE atau nol emisi karbon adalah kondisi di mana jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap oleh bumi. Persoalan tentang perang dan ancaman resesi dianggap akan mengganggu fokus agenda perubahan iklim.
Selain itu, para peserta juga membahas perlunya reformasi terhadap institusi multilateral, utamanya PBB, agar PBB bisa menjadi instrumen arsitektur global yang efektif. PBB tidak boleh tergantung hanya menuruti kemauan negara para pemegang hak veto. Tantangan abad ke-21 menghendaki PBB bersikap adil terhadap semua anggotanya.
Solusi
Penulis berpendapat setidaknya ada tiga hal penting untuk mengatasi megakrisis global. Pertama, dunia bersatu untuk menghentikan perang di Ukraina. Kita tidak boleh menunggu krisis besar terjadi lebih besar lagi. Misalnya, terjadinya ”Perang Dunia III”.
Sejarah mengajarkan bagaimana Perang Dunia II terjadi akibat kelalaian kita membaca tanda-tanda krisis itu. Sekarang tanda-tanda itu sudah ada. Kenaikan anggaran pertahanan di beberapa negara Asia dan Eropa, perlombaan senjata dan peluru kendali, serta penggunaan senjata nuklir semakin menjadi-jadi. Kita harus mengambil lesson learned dari Perang Dunia II itu.
Ada sebuah momentum yang baik, yaitu forum G20 yang akan diselenggarakan di Indonesia. Pemerintah harus memainkan peranan strategis agar G20 benar-benar bisa menghasilkan solusi yang tepat. Terutama untuk membuka jalan damai antara Ukraina dan Rusia.
Peranan strategis itu harus dimainkan tidak hanya kepada kedua pihak yang sedang bertikai, tetapi juga kepada negara-negara lain peserta G20, untuk ikut mengambil bagian pada proses perdamaian ini.
Kedua, untuk mengatasi masalah ekonomi ini, kerja sama internasional adalah suatu keharusan. Saat krisis keuangan global terjadi tahun 2008, kelompok G20 bisa bergandengan tangan dan mengatasinya bersama. Pengalaman 14 tahun lalu itu harus menjadi best practice bagi para pemimpin dunia G20 saat ini. Inilah mengapa sangat penting untuk pertama-tama mengakhiri perang di Ukraina itu, agar komunitas internasional dapat kembali memfokuskan energi mereka untuk mengatasi masalah ekonomi dan persoalan lainnya.
Ketiga, para aktor global saat ini perlu beradaptasi dengan kondisi dunia yang semakin dinamis. Meski saat ini perkembangan teknologi sangat pesat, tapi pada akhirnya faktor manusialah yang paling menentukan ketimbang teknologi itu sendiri.
Manusialah yang akan membuat keputusan, untuk mengeskalasi atau mengakhiri konflik dan peperangan, menyelesaikan masalah perubahan iklim, mendorong transisi ke arah energi terbarukan, dan lainnya. Karena itu, proses demokrasi di sejumlah negara harus menghadirkan nilai-nilai kepemimpinan yang peka dan kritis terhadap perubahan (leadership in crisis), juga kepemimpinan transformasional yang mempersatukan segala sumber daya bangsa.
Belajar dari krisis 2008 dan ”inspirasi Potsdam”; penulis berkeyakinan, jika para pemimpin dunia duduk bersama, menghilangkan ego masing-masing, bekerja sama mencari solusi terbaik bagi dunia, dengan mengedepankan pemikiran win-win solution, sekaligus mencegah zero sum game, maka insya Allah, kita bisa mengatasi megakrisis global. Forum dialog di Berlin ini telah membuka jalan untuk terwujudnya solusi yang permanen.
Tulisan Ini Telah Terbit di https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/06/optimisme-mengatasi-mega-krisis-global.