Oleh: Furqan Jurdi | Praktisi Hukum dan Penuli/Aktivis Muda Muhammadiyah
Setelah bergulir reformasi, desakan untuk memisahkan polisi dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)-sekarang TNI, menjadi salah satu tuntutan reformasi. Pemerintahan era Reformasi kemudian melakukan rangkaian kebijakan reformis, di antaranya: menetapkan TAP MPR RI No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan TAP MPR RI No. VII tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pada 1 April 1999, Presiden B. J. Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999 tentang Langkah-langkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan Kepolisian dari ABRI. Sejak diterbitkannya instruksi tersebut, Polri yang tadinya di bawah Mabes ABRI ditempatkan di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam).
Pada perkembangan selanjutnya polisi akhirnya menjadi institusi yang langsung di bawah Presiden. Dari segi konstitusi, TNI maupun Polri dalam UUD 1945 disebutkan sebagai alat negara, bukan lembaga negara. Terdapat perbedaan mendasar mengenai tugas dan wewenang keduannya. Tentara bertugas mengamankan negara dari ancaman eksternal dengan kekerasan dan dalam kondisi tertentu bisa mengesampingkan HAM, sementara polisi bertugas mengamankan masyarakat agar tercipta ketertiban dan rasa aman serta tidak bisa mengesampingkan HAM.
Sebagai institusi yang diharapkan untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta melindungi, mengayomi dan memberikan pelayanan kepada masyarakat polri dituntut mengedepankan langkah humanis dengan seminimal mungkin menggunakan kekuatan dan senjata. Pasca-otoritarianisme, terjadi peminggiran peran tentara dalam perspektif militerisme (baca: kekuatan senjata), menjadi keamanan nasional dalam perspektif tertib hukum dan perlindungan HAM. Polisi lah yang paling diandalkan dalam menjalankan tertib hukum itu.
Setelah 22 tahun Reformasi kepolisian dan pisahnya dari TNI, persoalan institusional kepolisian menjadi sorotan, lantaran polisi seperti sebuah mesin kekuasaan yang sulit untuk dikendalikan oleh sistem yang ada. Polisi bahkan dianggap memiliki “kerajaan sendiri”. Polisi bergeliat cukup kuat mengisi lembaga-lembaga negara. Seperti BNN, BNPT, BSSN, KPK hingga pengisian Penjabat kepala daerah. Karena kurangnya pembatasan dari UU maka itu memungkinkan terjadi. Berbagai kontroversi yang belakangan terjadi, merupakan puncak gunung es dari sebuah kegagalan sistem hukum yang mengatur masalah institusi kepolisian. Kegagalan sistem ini akan berdampak lebih luas daripada persoalan moralitas individu.
Kepolisian harus dikembalikan ke khittahnya sebagai institusi pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Untuk itu perlu ada restrukturisasi kelembagaan yang lebih efektif ketimbang hanya memperbaiki persoalan yang muncul satu demi satu. Kejahatan dan pelanggaran oknum serta sanksi yang diberikan, sama sekali tidak akan menghentikan lahirnya oknum-oknum yang bermoral rendah. Dari kekerasan hingga kriminalitas Sebaiknya kita jujur, bahwa institusional kepolisian masih mewarisi watak militeristik dengan citra “having force and power”.
Pandangan ini seiring dengan masih munculnya kasus kekerasan, pelanggaran HAM, serta belum adanya penegakan hukum yang berkeadilan dan akuntabel atas pelanggaran pelanggaran yang melibatkan aparat Polri.
Laporan Komnas HAM, misalnya, menunjukkan betapa sering terjadi tindakan kekerasan oleh polisi dalam waktu dua tahun terakhir yang melanggar HAM. Terdapat 71 tindakan kekerasan dan 39 tindakan lainnya.
Begitu juga catatan Amnesty Internasional, polisi adalah terduga pelaku serangan terhadap pembela HAM terbanyak sepanjang 2021. Sepanjang Juni 2020 – Juni 2021 juga ada setidaknya 17 kasus penyiksaan yang diduga melibatkan anggota polisi dengan 30 korban. Sebanyak 402 orang dikabarkan terluka akibat kekerasan oleh polisi saat aksi #ReformasiDikorupsi di berbagai provinsi di Indonesia.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkap temuan 677 kekerasan oleh aparat kepolisian sepanjang Juli 2021-Juni 2022. Kekerasan itu paling banyak dilakukan menggunakan senjata api dengan 456 kasus. Deretan kekerasan tersebut menyebabkan 928 orang terluka, 59 jiwa tewas, dan 1.240 orang ditangkap. Terbaru, kekerasan polisi di Wadas yang menimbulkan ketakutan dan trauma di masyarakat. Tindakan unlawful killing terhadap 6 Laksar FPI. Penggunaan senjata yang tidak pada tempatnya, telah mengakhiri nyawa 132 orang di Stadion Kanjuruhan Malang. Sebuah tragedi. Tidak hanya brutalitas terhadap rakyat, kriminalitas antara polisi dengan polisi justru terjadi.
Setiap pekan kita membaca berita, ada kasus polisi vs polisi. Yang paling brutal adalah penembakan terhadap Brigadir Joshua Hutabarat dengan segala upaya rekayasa kasus yang dilakukan oleh mantan Kadiv Propam Mabes Polri Ferdy Sambo.
Rangkaian data kekerasan dan pembunuhan telah menunjukkan bahwa tindakan sewenang-wenang Kepolisian dengan menggunakan kekuatan senjata berlebihan selalu berulang terjadi tanpa ada evaluasi dan penyelesaian yang transparan dan akuntabel.
Dari kekerasan hingga kriminalitas telah terjadi sedemikian sistematis dan massif. Mulai dari jenderal hingga yang paling rendah.
Seperti yang terjadi di Tanjungnalai tiga orang polisi dituntut hukuman mati karena menjual barang bukti sabu kepada bandar senilai Rp 1 miliar. Kasus jual beli narkoba di Polres Karawang. Seorang Kasat Reserse Narkoba Polres Karawang kedapatan memiliki pil ekstasi sejumlah 2.000 siap edar. Sebelas oknum polisi di Polres Mojokerto. Anggota polisi di Ambon, Maluku dan juga perwira di Polda Riau yang ditangkap karena menjadi pengedar narkoba. Ada ratusan polisi terjerat penggunaan dan peredaran narkoba.
Berdasarkan data Polri, pada 2018, sebanyak 297 anggota kepolisian terjerat kasus narkoba. Pada 2019, jumlahnya naik hampir dua kali lipat menjadi 515 orang. Sementara 2020, sebanyak 113 polisi dipecat karena pelanggaran berat, antara lain narkoba. Begitu juga mengenai isu konsorsium judi yang belakangan menjadi kontroversi. Konsorsium 303 yang diduga melibatkan Polisi ini, meskipun belum jelas, namun patut untuk ditemukan kejelasannya.
Alih-alih untuk menertibkan masyarakat, mengayomi dan menegakkan hukum, justru polisi sendiri yang tidak bisa tertib baik tertib sosial, maupun tertib hukum. Jadi untuk itu perlu dilakukan perbaikan, atau dalam bahasa yang beredar sekarang “Reformasi total” Polri.
Perbaikan institusi Dalam mewujudkan Reformasi total, tentu harus menggunakan pendekatan hukum tata negara.
Reformasi institusi secara kelembagaan tentu ini akan menjadi sesuatu yang sangat penting bagi perbaikan institusi. Untuk itu perlu kita ketahui bagaimana tugas, fungsi dan kedudukan polisi dan konstitusi? Dalam UUD 1945, Pasal 30 ayat (4) disebutkan: “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.” Dalam ketentuan ini Polisi adalah “Alat Negara”, tidak disebutkan sebagai lembaga negara. Melihat tugas dan kewenanganya, secara institusional, polisi adalah alat untuk mencapai tujuan cabang kekuasaan eksekutif, yaitu negara sebagai penjaga, pelindung dan pengayom. Dalam teori paling klasik disebut “Negara penjaga malam”.
Sebagai alat negara Polri menjalankan fungsi negara, juga untuk menjalankan fungsi eksekutif secara aktual. Karena itu kedudukan lembaga secara administratif harus setingkat di bawah kementrian Negara dalam hal kebijakan dan strateginya. Baik TNI maupun Polri adalah dua alat negara yang tugasnya menjaga negara dari ancaman. Keduanya memiliki perbedaan, dari segi tugas dan fungsi.
Dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Sementara tugas pokok dan wewenang Polri diatur melalui Undang-undang atau UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam pasal 13 disebutkan bahwa Polisi itu bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Meski memiliki fungsi dan tugas dan wewenang sebagai alat negara, namun kedudukan Polri dan TNI berbeda.
Polisi dalam pasal 8 ayat (1) ditempatkan di bawah Presiden. Dalam pasal 2 disebutkan Polri dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di sinilah perbedaannya dengan tentara. Tentara dalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan “Dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden”.
Sedangkan dalam pasal (2) kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi, TNI di bawah koordinasi Departemen Pertahanan. Polri berkedudukan di bawah presiden dan pertanggungjawabannya langsung kepada Presiden. Sementara TNI dalam hal pengerahan dan penggunaan kekuatan militer TNI berkedudukan di bawah presiden. Untuk kebijakan dan dukungan administrasi TNI berada di bawah Departemen Pertahanan.
Perbedaan lain dari kedua institusi terdapat dalam struktur internal dan komando. Kalau Tentara memiliki garis komando secara vertikal ke atas, di mana pengerahan pasukan pertanahan melalui keputusan panglima tertinggi, sementara polisi harus tunduk pada perintah undang-undang. Dia secara hirarkis memang sebagai polisi, tetapi komandonya adalah hukum dan Undang-undang. Polisi tidak tunduk pada atasan. Sebagai alat negara Polisi dan TNI, meski memiliki tugas, wewenang dan garis komando yang berbeda, tetapi sebagai institusi keamanan tentu keduanya harus ditempatkan dalam kedudukan yang proporsional. Karena itu dalam tulisan ini saya mencoba mengkaji bagaimana seharusnya kedudukan polisi dalam struktur ketatanegaraan.
Secara nomenklatur kelembagaan, polisi dapat ditempatkan di bawah Kementrian Dalam Negeri seperti Polisi di Amerika. Mengadopsi kedudukan polisi Amerika dalam konteks tugas dan wewenang bagi saya tidak tepat. Karena Kemendagri memiliki tupoksi mengurusan pemerintahan dalam negeri, bukan urusan keamanan. Di mana seharusnya polisi ditempatkan? Menurut saya harus dibentuk kementerian keamanan nasional. Kalau TNI di bawah Kementerian Pertahanan, maka Polri seyogyanya berada di bawah kementrian keamanan. Karena itu urgensi UU Keamanan Nasional sangat penting untuk melakukan reformasi kepolisian di samping mengubah UU kepolisian yang ada sekarang ini.
Perbaikan institusional lainya, yaitu mengatur tentang jabatan-jabatan struktural dalam internal Polri. Jangan sampai ada penumpukan perwira tanpa pekerjaan, bisa menjadi pemicu gesekan dan saling sikut di internal. Saling rebut jabatan antara angkatan dengan angkatan, antara kelompok dengan kelompok, antara korps dengan korps justru membuat polisi seperti lembaga politik. Mengutip Prof Mahfud MD, di internal kepolisian ada Mabes dalam Mabes (Polri). Disinyalir kelompok tersebut salah satunya adalah Satgasus Merah Putih yang dibentuk pada 2017 dipergunakan sebagai jabatan nonstuktural di dalam Korps Bhayangkara. Satgasus ini dibentuk oleh Kapolri saat itu Jenderal Tito Karnavian.
Perbaikan selanjutnya adalah pembatasan Polisi yang masih aktif untuk memegang jabatan di luar dari institusi kepolisian, karena polisi Indonesia masih menggunakan paradigma militer ketika melaksanakan tugas, yaitu taat pada atasan. Untuk meminimalisir konflik kepentingan dan penyalahgunaan kewenangan, sebaiknya polisi aktif dilarang untuk memegang jabatan dalam lembaga lain.
Karena itu, tugas utama Presiden dan DPR sekarang adalah bagaimana mengkaji kembali fungsi, tugas, kewenangan dan kedudukan kepolisian sebagai alat negara, untuk menjaga ketertiban, mengayomi dan melindungi masyarakat serta menegakkan hukum secara profesional. Untuk itu, dituntut keseriusan pemangku kebijakan untuk memperbaiki institusi kepolisian, sehingga kita memiliki polisi yang berintegritas dalam menjalankan tugas sebaik-baiknya.
Sumber: Kompas.com