Isu krusial yang menjadi sumber masalah itu ialah berkaitan dengan dasar negara.
Tidak separti isu HAM yang berhasil disepakati antara kelompok2 politik yang terdapat dalam Konstituante, terhadap isu Dasar Negara ini kelompok-kelompok politik yang terdapat dalam Konstituante terbelah.
Bukan dua melainkan terbelah tiga. Perbedaan dan pertentangan paham berlangsung tegang antara kelompok
Politik yang menghendaki Pancasila, Islam, dan Sosial Ekonomi sebagai dasar negara.
Karena beberapa kali majelis konstituante bersidang dan selalu mengalami deadlock sementara kondisi politik pada waktu itu semakin tidak pasti maka Presiden Soekarno atas nama negara dalam keadaan darurat mengeluarkan Dekrit untuk kembali ke UUD 1945.
Dekrit itu ditandatangani Presiden Soekarno tgl 5 Juli 1959 dan dinyatakan berlaku pada hari itu juga.
Ada banyak pertanyaan berbau akademik yang muncul berkaitan dengan terbitnya Dekrit 5 Juli 1959 itu.
Pertama, apa alasan yang mendorong dan memaksa Bung Karno menerbitkan Dekrit 5 Juli 1959 dan membubarkan konstituante hasil Pemilu 1955 tersebut; kedua, apakah dari sudut hukum ketatanegaraan Dekrit ini memiliki kedudukan dan keluatan hukum setingkat konstitusi; ketiga, apabila berdasarkan fakta memang majelis konstituante tidak berhasil atau gagal mengesahkan UUD baru pada batas waktu yang ditentukan mengapa Dekrit tersebut tidak memperpanjang masa berlaku UUDS 1950 agar Majelis Konstituante dapat menyelesaikan tugas mereka sampai tuntas; Keempat, seandainya tidak ingin memperpanjang masa tugas Majelis Konstituante, mengapa Presiden Soekarno misalnya tidak mengeluarkan Dekrit yang memberlakukan UUDS 1950 sebagai UUD tetap? Mengapa justru menerbitkan Dekrit yang langsung menyatakan kembali ke UUD Proklamasi yang dinyatakan mulai berlaku pada 18 Agustus 1945? Padahal jika ditelaah isinya, UUDS 1950 sangat lengkap isinya.
Terlepas dari apapun jawaban yang diberikan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, yang sudah pasti bahwa UUD proklamasi 1945 selama 10 tahun yaitu sejak 1949 di bawah Konstitusi RIS selanjutnya sejak 1950 hingga Dekrit 5 Juli 1959 di bawah UUDS 1950 tidak diberlakukan sebagai UUD negara RI.
UUD Proklamasi tersebut baru mulai diberlakukan lagi sebagai konstitusi negara sejak Dekrit 5 Juli 1959 hingga terjadi amandemen pertama UUD Proklamasi 1945 Oktober 1999.
Sejak Oktober 1999 hingga 2003 secara substansial telah terjadi perubahan total terhadap isi UUD Proklamasi meskipun Bagian Pembukaan dari UUD tersebut tetap dipertahankan sebagai a new start of our nation.
Dengan demikian, konstitusi yang hari ini kita peringati kelahirannya adalah konstitusi Proklamasi 18 Agustus 1945 yang telah mengalami empat kali perubahan yaitu amandemen pertama dilakukan pada 19 Oktober 1999 dan amandemen terakhir pada 10 Agustus 2002.
Perubahan konstitusi yang dilakukan empat kali ini dilakukan para wakil rakyat di MPR hasil Pemilu 1999 sehingga legitimasinya kuat dan secara substansi boleh dibilang telah sejalan dengan aspirasi rakyat melalui perjuangan wakil mereka di parlemen.
Apabila hari ini 18 Agustus 2025 kita memperingati hari konstitusi maka yang kita harapkan dari kegiatan tersebut adalah, pertama, konstitusi bukan norma yang hanya bersifat deklaratif melainkan lebih dari itu ia menjadi norma konstitutif yang akan menjadi pedoman dalam penyusunan peraturan perundang-undangan dan menentukan absah tidaknya norma-norma hukum lain yang berlaku dalam negara.
Tidak ada norma hukum lain dalam negara yang kedudukannya lebih tinggi atau setara dengan konstitusi.
Kedua, dengan menerima konstitusi menjadi satu-satunya norma hukum tertinggi yang berlaku dalam negara maka semua produk negara seperti tindakan dan aturan hukum yang berlaku dalam negara dan mengikat warga harus sejalan dan senafas dengan norma-norma yang tercantum dalam konstitusi dan apabila ada norma lain dan ada tindakan dari penyelenggara negara yang tidak sejalan atau bertentangan dengan konstitusi dalam arti substansinya maka norma-norma dan tindakan-tindakan tersebut demi hukum konstitusi harus dinyatakan tidak berlaku dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Ketiga, semua warga negara tanpa memandang kedudukan dalam pemerintahan dan status sosialnya atau kedudukannya dalam golongan politik harus patuh pada aturan dan hukum yang sama dan yang satu yaitu konstitusi.
Tidak ada satu kekuatan sosial dan kekuatan politik apapun yang mengklaim berdiri di atas konstitusi. Presiden, DPR, MK, MA, Partai Politik, TNI dan POLRI dn institusi2 negara lainnya wajib tunduk dan patuh pada konstitusi.
Dalam negara konstitusional, konstitusi pada dasarnya adalah perkakas rakyat yang diperlukan untuk membela hak-hak konstitusional mereka dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh penguasa.
Konstitusi dalam konteks negara konstitusional bukan perkakas dari negara untuk memberangus hak-hak rakyat. Tetapi sebaliknya.
Prinsip ini sekaligus membuka ruang seluas-luasnya kepada setiap warga negara baik secara individu maupun kelompok yang menjadi korban tindakan pelanggaran konstitusi yang dilakukan para penyelenggara negara untuk mengajukan constitutional complaint guna menuntut pemulihan hak-hak konstitusional akibat tindakan sewenang-wenang (arbitrary actions) dari penguasa.
Keempat, kehadiran MK di era reformasi adalah simbol tertinggi peradaban bangsa kita. MK dibentuk dengan kesadaran tinggi untuk menjamin hak-hak konstitusional rakyat dari potensi abuse of power penyelenggara negara. Tugas pokok MK dengan kekuasaan dan kewenangan yang melekat padanya adalah untuk menjaga dan memproteksi konstitusi-konstitusionalisme.
Untuk bisa mengemban tugas berat tersebut kedudukan MK dalam Managemen Negara harus benar-benar dijamin independensinya.
Semua pihak harus menghormati dan menjaga independensi MK jika kita ingin menjadi bangsa bermartabat dan negara yang berintegritas.
Kehadiran MK yang kuat dan independen sekali lagi sangat diperlukan untuk dapat mengawal konstitusi dari upaya kelompok dan golongan tertentu termasuk untuk mencegah kekuasaan penyelenggara negara yang sering tergoda untuk mengubah konstitusi misalnya dengan sengaja membuat peraturan hukum atas inisiatif sendiri atau menggunakan instrumen kekuasaan yang ada padanya untuk mengintervensi personil hakim MK dengan maksud untuk mempertahankan kekuasaan ataupun untuk keperluan melayani kepentingan kelompok dan golongannya.
Kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara untuk mengabaikan konstitusi-konstitusionalisme selalu terbuka mana kala tidak ada lembaga yang mengawasinya.
Ini telah menjadi hukum besi kekuasaan. Tapi untuk mengulangi lagi yang telah diuraikan di atas, kehadiran lembaga pengawas saja tentu tidak cukup, ia harus benar-benar menjadi institusi yang merdeka dari campur tangan kekuasaan negara manapun agar ia efektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam menegakkan dan mengawal konstitusi.
Dengan mengawal dan melaksanakan konstitusi kita sudah melaksanakan nilai-nilai Pancasila karena pasal-pasal dalam konstitusi pada hakikatnya adalah pelaksanaan lebih lanjut dari Pembukaan UUD 1945 dan dalam Preambul itu ada Pancasila, Dasar Negara kita. Merdeka, merdeka!
Selamat Hari Konstitusi
18 AgustusI 2025