Oleh Hendri Teja (Direktur Eksekutif Political Design)
Wacana memasangkan Anies-Khofifah kembali riuh begitu Ketum Demokrat, AHY, resmi menyatakan Demokrat mengusung Anies Baswedan sebagai Bacapres 2024.
Wacana ini patut disyukuri karena memperpanjang durasi dan memperluas spotlight media dan perbincangan publik terkait Anies.
Namun, karena Koalisi Perubahan berlayar untuk sampai tujuan, bukan cuma pergi berlayar kemudian karam di tengah jalan, maka opsi ini perlu ditimbang matang-matang.
Pertama, sekuat apa Khofifah di Jawa Timur? Khofifah sudah tiga kali berlaga di Pilgub Jatim. Namun, baru pada kali ketiga kemenangan direngkuhnya. Dua kali pilgub, Khofifah kalah melawan kandidat dari Demokrat. Kali ketiga, ia menang setelah maju bersama kandidat dari Demokrat.
Artinya, dukungan Demokrat merupakan faktor penentu kemenangan Khofifah. Wajar. Jatim adalah salah satu lumbung suara Demokrat. Loyalis dan simpatisan SBY dan AHY meluas dan menyebar hingga ke tingkat akar rumput di Jatim.
Kedua, sejauh mana posisi sebagai Ketum PP Muslimat NU mendongkrak elektabilitas Khofifah? Merujuk sejarah, Khofifah menjabat Ketum PP Muslimat NU sejak tahun 2000. Namun, ia tetap kalah Pilgub Jatim 2008 dan 2013.
Mengapa begitu? Mari mengacu pandangan Ketum PB NU KH Yahya Cholil Staquf, yang menyebut “NU pada dasarnya merupakan milik semua orang.” Karena tiada seorangpun yang secara realistis punya kapasitas untuk mengklaim NU, membuat NU kultural tak selalu linier dengan NU politik.
Makanya, kaum nahdliyin yang sangat melek politik itu cenderung mengacu “may the best person win!” Jika ada sosok yang dinilai lebih mumpuni, kaum nahdliyin secara rasional akan mendukungnya.
Ini bukan hanya kasus Khofifah pada Pilgub Jatim 2008 dan 2013. Kita bisa berkaca pada Pilpres 2004. Kala itu ada dua kandidat berlatar NU yang berlaga, yakni Salahuddin Wahid dan Hasyim Muzadi. Faktanya di putaran 1 dan 2, SBY-JK mendominasi Jatim dan provinsi-provinsi lain yang menjadi kantung suara NU.
Ketiga, patut menimbang perspektif kalangan pro perubahan. Anies dan Khofifah punya historis sebagai orang Jokowi. Berbeda dengan Anies yang sudah kena sleding-banting oleh rezim sehingga dinisbahkan sebagai sosok “perubahan”, Khofifah belum purna alih posisi.
Ini jadi soal. Bisa bikin resah kalangan pro perubahan yang mengantungkan harapan kepada Anies. Lha, masak bahtera “perubahan” dinahkodai sosok “keberlanjutan”?
Jangan-jangan mereka nanti mencurigai keseriusan Anies untuk mengusung perubahan. Jangan-jangan mereka jadi ingat kenangan berlumpur keringat pada Pilpres 2019, lalu ujug-ujug ditinggal Prabowo dan Sandiaga Uno yang masuk kabinet Jokowi.
Sekali lagi, kita mengapresiasi wacana memasangkan Anies-Khofifah. Namun, alangkah baiknya ditimbang matang-matang lagi.
Bagaimanapun, kita ingin sampai tujuan, bukan cuma pergi berlayar, kemudian karam di tengah jalan. Tak mungkin melancarkan perubahan dan perbaikan kalau kalah pemilu.