Minggu, 13 Oktober, 2024

Tanggapi Tragedi Kanjuruhan Pengamat Asing Anggap Reformasi Polri Gagal

TajukPolitik – Pengamat sosial politik dari Australia, Jacqui Baker, menilai kegagalan reformasi di institusi Polri sebagai salah satu penyebab tak langsung tragedi maut di Stadion Kanjuruhan, Sabtu (1/10).

Sedikitnya 131 meninggal dunia dalam tragedi kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, menurut keterangan dari Mabes Polri pada Rabu (5/10).

Sebelumnya pertandingan Liga 1 antara Arema FC dan Persebaya di Stadion Kanjuruhan berakhir ricuh. Sejumlah suporter turun ke lapangan sehingga aparat keamanan bertindak.

Korban yang meninggal kebanyakan diduga karena terinjak-injak massa suporter Arema lainnya yang panik lantaran gas air mata yang ditembakkan aparat kepolisian di dalam tribune. Padahal, gas air mata di dalam stadion amat dilarang dalam aturan FIFA karena dianggap membahayakan.

Baker kemudian menyorot tajam salah prosedur hingga kekerasan yang digunakan polisi dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan tersebut.

Menurut dosen Studi Asia Tenggara Murdoch University Australia itu, insiden di Stadion Kanjuruhan harus dipahami dalam konteks yang lebih luas terkait impunitas Polri.

“Ketika polisi tak bertanggung jawab atas tindakan mereka, maka akan lahir ketidakprofesionalan,” kata Baker dalam pesan singkatnya, Rabu (5/10).

Menurutnya, secara struktural, di Indonesia kepolisian tidak secara langsung dihitung sebagai lembaga demokrasi yang bisa dimintai pertanggungjawabannya.

“Akuntabilitas di sini termasuk harus dimintai pertanggungjawaban, atau menjelaskan tindakan dan keputusan Anda, dan (bisa) dijatuhi hukuman jika ada kesalahan. Dengan cara demikian, ini mekanisme penataan yang amat penting dalam perilaku institusional,” kata Baker.

Baker kemudian menilai reformasi di tubuh Polri tidak berjalan sesuai dengan iklim demokrasi di Indonesia.

“Kegagalan reformasi kepolisian yang demokratis di Indonesia berarti polisi dan pemimpin politik terisolasi dari bentuk pertanggungjawaban publik. Dalam konteks ini, malapraktik, inkompetensi, dan pembiaran berkembang,” tutur Baker.

“Polri bisa saja sudah meninjau kembali standar prosedur operasi dalam penggunaan gas air mata beberapa tahun lalu jika mereka memang mempertanggungjawabkan penggunaannya kepada warga sipil,” ucap Baker.

“Sebaliknya, kita menyaksikan terjadinya peningkatan kekerasan dalam penanganan ketertiban umum selama empat hingga lima tahun belakangan,” ia menambahkan.

- Advertisement -spot_imgspot_img
Berita Terbaru
- Advertisement -spot_img
Berita Lainnya
Rekomendasi Untuk Anda
- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini