Tajukpolitik – Pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-undang (UU) pada Selasa (6/12), dikritik keras sejumlah akademisi.
Misalnya, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, yang menilai pengesahan tersebut semakin mengonfirmasi bahwa DPR dan pemerintah abai dengan pendapat publik.
“Meminjam Jules Verne, ‘Aures habent et non audien’. Rezim hari ini seperti punya telinga tapi tidak mendengar, punya mata tapi tidak melihat,” ujar Herdiansyah, Selasa (6/12).
Ia mengatakan DPR dan pemerintah tidak peduli dengan keresahan kolektif atas rancangan peraturan pidana yang dinilainya kontroversial tersebut.
“Mereka benar-benar buta dan tuli dengan kritik dan masukan publik. Ini pertanda kekuasaan hari ini benar-benar mengarah kepada otoritarianisme. Rezim yang akan melakukan kontrol total terhadap kebebasan warga negara. KUHP yang berisi pasal-pasal karet ini akan dijadikan alat untuk membungkam mereka-mereka yang kritis terhadap kekuasaan,” tegasnya.
Sementara, Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P. Wiratraman, juga mengkritik keras pengesahan RKUHP menjadi UU, namun mengaku tidak kaget.
Sebab, menurutnya, peristiwa ini seolah mengulang sejumlah perundang-undangan yang dipaksakan pengesahannya seperti revisi UU KPK (2019), UU Omnibus Law Cipta Kerja, dan UU Minerba.
“Tak mengejutkan, karena apa yang kita saksikan dengan pengesahan RKUHP hanya mengonfirmasi apa yang sudah dikhawatirkan banyak pihak menguatnya autocratic legalism (legalisme otokratis), pembentukan hukum yang jamak terjadi dalam fase rezim yang kecenderungannya kian otoriter,” kata Herlambang.
Ia turut menyoroti solusi gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana yang pernah diutarakan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly dan Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej.
“Agak susah percaya dan berharap dari kekuasaan kehakiman yang kian masuk terlalu dalam dalam perangkap kartel politik. Bila toh harus ke MK, dia lebih tepat diupayakan sebagai medium pencerdasan publik, bukan berharap banyak dari putusan yang punya kualitas progresif,” jelasnya.