Kamis, 21 November, 2024

Ribuan Buruh Unjuk Rasa Minta Kenaikan Upah Minimum Sebesar 13 Persen

TajukPolitik – Ribuan buruh di Jawa Barat melaksanakan unjuk rasa di Gedung Sate, Bandung, Rabu, (21/9). Unjuk rasa ini merupakan aksi lanjutan yang dilakukan para serikat buruh seluruh Indonesia dengan bantuan Partai Buruh yang dilaksanakan sepanjang bulan September ini.

Salah satu tuntutan yang dilemparkan oleh gabungan partai dan serikat buruh ini adalah meminta kenaikan upah minimum tahun 2023 sebesar 13 persen.

“Upah buruh tidak naik dalam 3 tahun terakhir, bahkan Menteri Ketenagakerjaan sudah mengumumkan jika Pemerintah dalam menghitung kenaikan UMK 2023 kembali menggunakan PP 36/2021. Kami menolak itu dan meminta kenaikan upah sebesar 13 persen,” tegas Winarso, Ketua DPW FSPMI Jakarta yang juga Ketua Exco Partai Buruh Provinsi DKI Jakarta.

Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyebutkan bahwa aksi digelar karena BLT dengan besar 150 ribu per bulan tidak mencukupi kebutuhan penerimanya. Maka dibutuhkan kenaikan upah untuk menyesuaikan kenaikan harga bahan pokok akibat inflasi.

“Tahun ini inflasi pada tingkat 7 persen. Perkiraan pertumbuhan ekonomi 4,5 – 5 persen. Berarti, inflasi dan pertumbuhan ekonomi 12,5 persen. Maka yang dituntut buruh dengan naik upah 10-13 persen sangat rasional. Tetapi Menteri justru tidak mendengar dan justru kembali mengumumkan tidak lagi menaikkan upah.” sebut Said Iqbal dalam siaran pers Partai Buruh dan Organisasi Serikat Buruh.

Merespons tuntutan ini, pengamat ketenagakerjaan Timboel Siregar menyebutkan bahwa tuntutan buruh dapat dimengerti mengingat drastisnya kenaikan harga bahan pokok dan jasa.

Timboel namun menegaskan bahwa kenaikan 13 persen akan sulit dipenuhi perusahaan karena terlalu besar kenaikannya. Pengusaha pun terkena imbas dari kenaikan BBM, krisis pangan global, dan konflik geopolitik Rusia-Ukraina. Ia menegaskan bahwa tingkat kenaikan yang masuk akal berada pada besar 7 sampai 8 persen.

“Ya tuntutan boleh aja tapi sangat sulit. [Kenaikan] yang moderat itu 7 sampai 8 persen.” tuturnya, Rabu (21/9).

Senada dengan Timboel, Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Airlangga, Hadi Subhan, menyebutkan bahwa sulit untuk seutuhnya mengikuti tuntutan  untuk menaikkan upah hingga 13 persen, karena efek sampingnya perusahaan akan kewalahan dalam biaya operasionalnya.

“Tuntutan buruh tersebut dapat dipahami, karena memang angka upah minimum masih belum layak. Akan tetapi menimbulkan masalah lain, di mana perusahaan banyak yang tidak mampu, yang berakibat akan banyak perusahaan tutup. Hal ini karena efek pandemi masih terasa, dan jika perusahaan banyak yang tutup, akibatnya juga ke buruh yang ter-PHK,” tuturnya kepada kumparan.

Ia memberikan contoh banyak ratusan perusahaan yang angkat kaki dari wilayah industri, contohnya seperti Karawang. Untuk informasi, pada 2018 terdapat 1.752 perusahaan yang masih operasional di daerah Karawang, sementara saat ini hanya 900 perusahaan saja yang masih beroperasi.

Menurut Hadi, lebih penting bagi perusahaan untuk menaikkan upah secara berangsur-angsur sambil kembali memulihkan produksi perusahaan dengan bantuan pemerintah agar tidak terjadi PHK, ketimbang menaikkan nilai upah minimum secara drastis dengan risiko penutupan perusahaan atau PHK dalam jumlah besar.

“Dinaikkan [upah minimum] bertahap, sembari ada subsidi upah dari pemerintah untuk yg upah minimumnya rendah,” tutupnya.

- Advertisement -spot_imgspot_img
Berita Terbaru
- Advertisement -spot_img
Berita Lainnya
Rekomendasi Untuk Anda
- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini