TajukNasional Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf, menyoroti pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu (UU Pemilu) yang menjadi isu strategis dan diskusi intens di parlemen. Menurutnya, setiap partai politik memiliki kepentingan dalam revisi ini, sehingga topik tersebut memunculkan berbagai pandangan dan dilema.
Dede menyampaikan pandangan ini saat hadir dalam diskusi bertema “Mengulik Revisi Undang-Undang Pemilu” yang diadakan oleh Lembaga Studi Visi Nusantara Maju (LS Vinus) pada Minggu (24/11).
Ia menjelaskan bahwa salah satu isu paling krusial dalam revisi ini adalah sistem pemilihan legislatif (Pileg) yang akan diatur—apakah terbuka, semi-terbuka, atau tertutup.
“Setiap partai pasti punya kepentingan dalam UU Pemilu ini. Diskusi paling masif adalah soal sistem Pileg: terbuka, semi-terbuka, atau tertutup. Kalau tertutup, berarti hanya partai yang menentukan calon, dan tentu ini menguntungkan partai besar,” ungkap Dede.
Dede menambahkan bahwa skema tertutup akan memberikan keunggulan kepada partai besar, sementara skema semi-terbuka berpotensi hanya menguntungkan calon yang memiliki struktur organisasi yang kuat.
“Kalau semi-terbuka, hanya calon yang punya dukungan dari struktur organisasi yang memiliki peluang besar. Sedangkan yang lain merasa peluangnya kecil dan tidak akan bekerja maksimal,” jelasnya.
Ia juga menyoroti masalah kerja caleg dalam Pileg terbuka. “Saat ini saja, dalam daftar caleg, dari 10 orang mungkin hanya 1 atau 2 yang benar-benar bekerja,” lanjut Dede.
Dede Yusuf juga menyinggung maraknya politik uang (money politics) yang ia sebut semakin brutal dalam Pemilu 2024. Ia mencontohkan tingginya biaya politik yang harus dikeluarkan oleh calon legislatif (caleg).
“Money politics jadi isu besar. Untuk DPRD tingkat kabupaten/kota saja, biaya yang dulu hanya sekitar Rp500 juta kini naik menjadi Rp3 miliar. Untuk DPR RI, biayanya bahkan lebih besar,” ungkap Dede.
Selain itu, Dede mencatat kecenderungan partai politik lebih memilih calon yang populer untuk mengurangi biaya kampanye. Namun, langkah ini dinilai berdampak negatif terhadap peluang aktivis dan figur yang berjuang dari bawah.
“Partai-partai lebih mencari tokoh terkenal agar cash of money bisa ditekan. Akibatnya, aktivis dan tokoh masyarakat yang punya integritas, tapi kurang populer, semakin sulit bersaing,” ujarnya.
Dede Yusuf menegaskan, revisi Undang-Undang Pemilu diperlukan untuk memperbaiki sistem pemilu dan memastikan kompetisi yang lebih sehat.
“Ini bukan hanya soal teknis, tetapi juga memastikan bahwa sistem pemilu lebih adil, transparan, dan mendukung demokrasi yang berkualitas,” pungkasnya.
Revisi UU Pemilu akan menjadi salah satu agenda utama DPR RI, dengan harapan mampu menjawab tantangan politik saat ini dan mendorong keterlibatan lebih luas dari semua kalangan masyarakat.