TajukPolitik – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan tersangka dugaan korupsi izin usaha pertambangan (IUP) Kabupaten Tanah Bumbu, politisi PDIP Mardani H. Maming, setelah diperiksa selama hampir 8 jam.
Usai diperiksa, politisi PDIP ini keluar dengan tangan diborgol dan memakai rompi oranye tahanan KPK. Mardani melangkah pelan didampingi petugas ke ruang konferensi pers untuk diumumkan kepada publik bahwa ia sudah ditahan.
Ketika melangkah, Mardani disambut oleh sejumlah orang yang berteriak. Ia menjawab teriakan itu sambil mengangkat tangan yang sudah terborgol.
Mardani yang juga menjadi Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), sempat menjadi buronan KPK. Langkah hukum itu diambil karena Mardani mangkir dua kali dari panggilan KPK sebagai tersangka.
Tak hanya itu, Tim Penyidik juga tidak menemukan Mardani ketika upaya jemput paksa dilakukan. Saat itu KPK berupaya menyiduknya di sebuah apartemen di kawasan Jakarta.
KPK menetapkan Mardani Maming sebagai tersangka penerima suap. Namun terduga pihak pemberi suap ternyata sudah meninggal dunia.
Pihak terduga pemberi suap dalam perkara ini ialah Henry Soetio selaku pengendali PT Prolindo Cipta Nusantara.
“Dalam paparan ekspose itu ternyata pemberinya, Henry Soetio, itu pemberinya, sudah meninggal,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers, Kamis (28/7).
Meski demikian, KPK tetap mengusut kasus ini. Sebab, penyidik sudah mendapat cukup bukti untuk menetapkan Mardani Maming sebagai tersangka.
Salah satunya ialah bukti transfer maupun pemberian tunai yang diduga suap bagi Mardani Maming. Kader PDIP itu diduga menerima suap yang totalnya Rp 104,3 miliar.
“Uang diduga diterima dalam bentuk tunai maupun transfer,” ujar Alex.
Selain itu, KPK juga sudah meminta keterangan adik Henry Soetio. Ia pun mengakui soal pemberian-pemberian uang dari kakaknya itu.
“Diakui ada beberapa kali pemberian baik tunai maupun transfer dan disertai pula dengan bukti,” ungkap Alex.
Bukti-bukti tersebut kemudian dibawa dalam forum gelar perkara. Hasilnya, penanganan perkara menjadi penyidikan dengan menjerat Mardani Maming sebagai tersangka.
“Penyelidik, penyidik, penuntut umum sudah tidak ada keraguan lagi bahwa sudah cukup alat bukti untuk meningkatkan perkara ke penyidikan,” kata Alex.
Suap Izin Tambang
Kasus ini terkait Peralihan Izin Usaha Pertambangan Operasi dan Produksi dari PT Bangun Karya Pratama Lestari (PT BKPL) ke PT Prolindo Cipta Nusantara (PT PCN) di Kabupaten Tanah Bumbu.
KPK menemukan adanya dugaan peran Mardani Maming selaku Bupati Tanah Bumbu dalam penerbitan izin pertambangan tersebut.
Selain itu, Mardani Maming juga diduga meminta Henry Soetio mengajukan pengurusan perizinan pelabuhan untuk menunjang aktivitas operasional pertambangan. Diduga, pengelolaan dimonopoli PT Angsana Terminal Utara milik Mardani Maming.
Setelah PT Prolindo Cipta Nusantara beroperasi dalam penambangan batubara berkat pelimpahan izin tersebut, Mardani Maming diduga mendirikan beberapa perusahaan. Pendirian itu diduga difasilitasi dan dibiayai oleh PT Prolindo Cipta Nusantara.
Perusahaan-perusahaan itu diduga dipegang oleh sejumlah pihak yang masih terafiliasi dengan Mardani Maming. Diduga, aliran uang disamarkan dengan kerja sama bisnis PT Prolindo Cipta Nusantara dengan perusahaan-perusahaan tersebut
Pendirian perusahaan-perusahaan itu diduga dimaksudkan untuk menyamarkan aliran uang untuk Mardani Maming sebagai fee atas pemberian izin usaha pertambangan (IUP) terkait. KPK meyakini Mardani Maming mendapat Rp 104 miliar.
“Uang diduga diterima dalam bentuk tunai maupun transfer sekitar Rp 104,3 miliar dalam kurun waktu 2014 sampai 2020,” ujar Alex.
Terkait masalah aliran uang itu, Mardani Maming pernah membantahnya. Pengacara Mardani Maming menyatakan KPK tak punya bukti soal aliran uang maupun soal afiliasi dengan sejumlah perusahaan. Mereka pun menyatakan bahwa yang terjadi ialah murni masalah bisnis.
Hal ini sempat menjadi dasar politisi PDIP tersebut mengajukan praperadilan. Namun, praperadilan itu tidak diterima.