TajukNasional Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Herman Khaeron, terkejut mendengar kabar bahwa Perum Bulog tidak menerapkan metode shipment direct saat pengiriman beras impor dari Vietnam ke Indonesia, yang transit terlebih dahulu di Singapura.
Ia berjanji bersama rekan-rekan di DPR akan mendalami kebenaran informasi tersebut. “Terkait dengan tidak langsungnya pengiriman dari Vietnam yang transit di Singapura, perlu fakta yang jelas dan kami akan dalami apakah ini terjadi, dan tentu mengapa terjadi,” ujar Herman, Selasa (23/7).
Politikus yang akrab disapa Hero ini juga akan menyuarakan ke komisi tempat dirinya bertugas, agar dijadwalkan pemanggilan untuk mengonfirmasi segala kesimpangsiuran proses pengadaan impor beras.
“Semoga apa yang dituduhkan tidak terjadi, namun informasi ini kami akan dalami nanti dalam rapat dengan Perum Bulog,” ucap dia.
Perkara demurrage dan dugaan mark up impor beras belum ada ujungnya dan masih menggantung. Kabar terbaru menyebut ada mekanisme yang tidak wajar, di mana kapal pengirim beras yang semestinya bisa langsung ke Jakarta mesti mampir dulu ke Singapura. Kejanggalan ini menguatkan adanya kesalahan administrasi sehingga proses impor mesti transit. Bahkan pihak pengekspor dari Vietnam pun dibuat bingung dengan skema shipment seperti ini.
Tidak kunjung diusut, dugaan kasus ini sengaja dibiarkan menguap begitu saja. Padahal fakta-fakta adanya maladministrasi yang menyebabkan negara berpotensi merugi sudah terpampang ke publik.
Salah satu contoh, dokumen hasil riviu sementara Tim Riviu Kegiatan Pengadaan Beras Luar Negeri pada tanggal 17 Mei 2024 yang ditandatangani Plh Kepala SPI Arrahim K. Kanam menyebut, ada masalah dalam dokumen impor yang tidak proper dan komplet sehingga menyebabkan biaya demurrage atau denda yang terjadi di wilayah pabean/pelabuhan Sumut, DKI Jakarta, Banten, dan Jatim.
Dokumen itu juga menyebutkan bahwa kebutuhan clearance di wilayah pabean atau pelabuhan belum dapat dilakukan lantaran dokumen impor belum diterima melebihi waktu yang telah ditentukan. Dokumen tersebut mengungkap telah terjadi kendala pada sistem Indonesia National Single Windows (INWS) di kegiatan impor tahap 11 yang dilakukan pada bulan Desember 2023.
Dalam dokumen riviu juga disebutkan terjadinya biaya demurrage atau denda karena perubahan Perjanjian Impor (PI) dari yang lama ke baru. Lalu ada juga phytosanitary yang expired dan kedatangan container besar dalam waktu bersamaan sehingga terjadi penumpukan container di pelabuhan.
Akibat tidak proper dan kompletnya dokumen impor serta masalah lainnya, telah menyebabkan biaya demurrage atau denda senilai Rp294,5 miliar. Dengan rincian wilayah Sumut sebesar Rp22 miliar, DKI Jakarta Rp94 miliar, dan Jawa Timur Rp177 miliar.