TajukNasional Anggota Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo menyoroti permasalahan pertanahan di Indonesia yang semakin kompleks dan merugikan masyarakat, khususnya kelompok ekonomi lemah. Ia menegaskan perlunya reformasi sistem dan peningkatan transparansi untuk menciptakan tata kelola pertanahan yang adil dan berkelanjutan.
Bambang mengungkapkan banyak masyarakat terpaksa menggadaikan tanah mereka kepada lembaga pembiayaan karena tekanan ekonomi. Sayangnya, kondisi ini sering dimanfaatkan oleh oknum tertentu yang membentuk jaringan mafia tanah.
“Jaringan mafia tanah ini melibatkan banyak pihak, mulai dari perbankan, lembaga pembiayaan, notaris, kurator, hingga balai lelang. Jika tidak ditangani serius, praktik ini akan semakin merugikan masyarakat dan merusak sistem hukum pertanahan di Indonesia,” ujar Bambang dalam keterangan tertulis yang diterima Parlementaria, Minggu (2/3/2025).
Menurut Ketua DPR RI ke-20 ini, mafia tanah merupakan sindikat yang bekerja secara sistematis dengan memanfaatkan celah dalam sistem administrasi pertanahan. Mereka menggunakan berbagai modus operandi, seperti pemalsuan dokumen, penipuan, penggelapan, pendudukan ilegal, dan jual beli tanah sengketa. Keterlibatan oknum pejabat, aparat penegak hukum, dan profesi terkait seperti notaris semakin memperumit penanganan kasus ini.
“Sepanjang tahun 2023, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) berhasil menyelesaikan 62 kasus mafia tanah dan menetapkan 159 tersangka. Namun, jumlah tersebut belum mencerminkan keseluruhan permasalahan karena masih banyak kasus yang belum terungkap,” jelas Bambang.
Bambang menekankan bahwa pemberantasan mafia tanah membutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Ia mengusulkan kerja sama antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perbankan, lembaga pembiayaan, balai lelang, kurator, dan notaris untuk memperkuat sistem pengawasan.
“Perbankan dan lembaga pembiayaan berperan dalam memberikan kredit dengan jaminan tanah atau properti. Namun, jika mereka bekerja sama dengan pihak ketiga yang menampung Cessie, risiko ketidakadilan bagi masyarakat menjadi sangat tinggi,” paparnya.
Selain itu, balai lelang yang bertugas menjual agunan dari lembaga pembiayaan juga harus diawasi ketat. Kolusi di antara pihak-pihak tersebut dapat memanfaatkan hasil lelang untuk kepentingan oknum tertentu, sementara masyarakat justru menjadi korban.
Bambang juga menyoroti peran kurator dan notaris dalam memverifikasi legalitas perubahan status agunan tanah. Menurutnya, pengawasan yang lemah dapat membuka peluang bagi praktik korupsi dan manipulasi, sehingga menyulitkan upaya pemberantasan mafia tanah.
“Edukasi kepada masyarakat tentang hak kepemilikan tanah dan prosedur legal dalam transaksi pertanahan juga sangat penting. Melindungi hak atas tanah dan properti adalah langkah menuju keadilan sosial dan kesejahteraan yang lebih merata,” pungkasnya.