TajukPolitik – Dalam 10 tahun kepemimpinan Presiden RI keenam, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Indonesia diterpa berbagai musibah bencana alam. Namun dengan crisis management leadership yang dimiliki SBY, Indonesia menjadi focal point penanggulangan bencana, baik ditingkat regional maupun internasional.
Gempa dan tsunami Aceh pada 24 Desember 2004 merupakan tonggak bersejarah Indonesia dalam mempersiapkan kesiagaan dalam menanggulangi bencana. Dengan kata lain, gempa bumi dan tsunami Aceh 2004 merupakan wake up call terhadap penanggulangan bencana Indonesia.
Atas inisiatif pemerintah dan DPR RI kala itu, akhirnya Indonesia memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebagai landasan hukum penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Tidak butuh waktu lama, pemerintah pun pada 2008 membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008, yang bertugas membantu Presiden Republik Indonesia dalam melakukan penanggulangan bencana sesuai dengan amanat UU Nomor 24 Tahun 2007.
Pasca rehabilitasi dan rekontruksi Aceh, SBY menyampaikan 6 poin pembelajaran dalam penanggulangan bencana. Pertama, respon cepat dalam penyelamatan jiwa dan upaya pengurangan kerugian.
Kedua, komunikasi publik yang cepat, akurat, dan tepat. Ketiga, koordinasi pada seluruh tahapan penanggulangan. Keempat, pola kepemimpinan pada tiap tingkatan untuk memimpin proses penanggulangan.
Poin selanjutnya adalah pentingnya monitoring dan evaluasi yang tepat. Terakhir, kesiapsiagaan yang bertumpu pada sumber daya manusia (SDM), partisipasi masyarakat dan alat penunjang.
Keseriusan SBY dalam pengelolaan bencana juga dicerminkan dari Prioritas Nasional Program Pemerintah 2010-2014 yang menjadikan isu lingkungan hidup dan pengelolaan bencana menjadi prioritas ke-9 dari 11 prioritas yang ada.
Dengan dukungan DPR RI, pemerintah kala itu mendapatkan dukungan penganggaran APBN yang terus meningkat. Contohnya anggaran untuk BNPB pada akhir pemerintahan SBY 2014 melonjak 71,64 persen, dari hanya Rp 1,34 triliun pada 2013 menjadi Rp 2,3 triliun pada 2014.
Selanjutnya yang juga ketiban kenaikan anggaran yaitu BMKG. Pada periode yang sama, BMKG yang pada 2013 mendapat anggaran sebesar Rp 1,39 triliun, naik menjadi Rp 1,43 triliun pada 2014. Sementara itu, BPPT mendapat anggaran pada 2014 sebesar Rp 768,2 miliar.
Menurut ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, pada 2018 menyebut pemerintahan SBY dalam 10 tahun kepemimpinannya sadar bahwa dana antisipasi bencana tidak bisa ditunda atau dikucurkan hanya jika bencana alam sudah terjadi. Apalagi, secara geografis Indonesia terletak di daerah rawan bencana yang dikenal dengan cincin api pasifik.
Tidak hanya pada sisi kebijakan anggaran, SBY juga menunjukkan empatinya terhadap para korban terdampak bencana. Tidak jarang SBY bermalam di tenda pengungsian sebagai bentuk tanggung jawab moral kepada mereka yang tertimpa musibah.
Selain di Aceh pada 2004, SBY juga sempat hadir bahkan bermalam di lokasi terdampak bencana, seperti bencana erupsi Merapi, tsunami Mentawai, erupsi Sinabung, dan Kelud.
“Tidak ada diskriminasi dalam penanganan bencana. Seperti kita ketahui ada beberapa bencana yang merusak baik tsunami, gempa, banjir letusan gunung api sejak 2004 hingga saat ini,” kata Staf Khusus Presiden Bidang Bencana Alam, Andi Arief pada Januari 2014 silam.
Selain itu yang tidak kalah penting, saat memimpin Indonesia, SBY juga memberikan dukungan penuh untuk kesiapan personel penanggulangan bencana dengan memberikan penyediaan fasilitas Pendidikan dan pelatihan bertaraf internasional, Indonesia Disaster Relief Training Ground (InaDRTG).
Atas kontribusi penting tersebut, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) periode 2007-2016, Ban Ki-Moon menganugerahi SBY Global Champion for Disaster Risk Reduction di ASEAN Summit Bali pada 19 November 2012.
“Penghargaan ini merupakan merupakan pengakuan PBB atas kepemimpinan Presiden SBY dalam menangani program dan pelaksanaan penanggulangan bencana alam,” ungkap Seskab Dipo Alam pada Mei 2011.
Ban Ki-Moon mengumumkan pemberian penghargaan tersebut di hadapan delegasi dari 82 negara peserta Sidang ke-3 Global Platform for Disaster Risk Reduction.
(dcn)