TajukNasional Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini mengeluarkan putusan yang membatalkan aturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang terdapat dalam Pasal 222 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Meskipun putusan tersebut menghapuskan ketentuan presidential threshold, sejumlah pihak menilai pedoman rekayasa konstitusional yang diberikan MK belum cukup jelas untuk diimplementasikan dalam revisi UU Pemilu.
Direktur Eksekutif Citra Institute, Yusak Farchan, mengungkapkan bahwa dalam putusan MK Nomor 62/PUU/XXII/2024, MK hanya menghapuskan Pasal 222 UU Pemilu dan memberikan rekomendasi yang terlalu umum terkait aturan pencalonan presiden dan wakil presiden.
“Pedoman rekayasa konstitusional yang diberikan MK bagi pembentuk undang-undang juga kurang jelas rumusannya untuk mencegah atau mengantisipasi terlalu banyaknya jumlah capres-cawapres,” ujar Yusak pada Jumat (3/1).
Menurut Yusak, keputusan MK untuk menghapuskan presidential threshold dapat membuka peluang bagi semua partai politik untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
“Kecenderungannya, semua parpol punya mimpi untuk mengajukan capres-cawapres, terutama para ketua umum. Jadi logikanya nggak mungkin peluang ini tidak dimanfaatkan,” katanya.
Sebagai dampaknya, Yusak memprediksi akan munculnya sejumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang cukup banyak.
“Putusan MK ini sama saja mewajibkan setiap parpol peserta pemilu mengusung pasangan capres-cawapres. Artinya, potensi pasangan calon bisa sebanyak jumlah parpol peserta pemilu,” tambahnya.
Ia memperkirakan, jika ada 18 partai politik yang ikut serta dalam Pemilu, maka jumlah pasangan calon bisa mencapai 18 pasang, yang akan membuat proses pemilu menjadi lebih kompleks dan membingungkan.
Seiring dengan potensi bertambahnya jumlah capres-cawapres, Yusak menilai pembentuk undang-undang perlu segera merumuskan aturan yang lebih jelas untuk menghindari kerumitan dalam sistem pencalonan presiden dan wakil presiden.