TajukNasional Anggota Komisi III DPR RI, Hinca Panjaitan, melontarkan kritik keras terhadap vonis 6,5 tahun penjara yang dijatuhkan kepada Harvey Moeis dalam kasus korupsi komoditas timah. Ia menilai hukuman tersebut tidak sebanding dengan kerugian negara yang mencapai Rp 300 triliun.
“Putusan ini adalah kabar buruk bagi keadilan. Bagaimana mungkin kerugian negara sebesar Rp 300 triliun hanya dihargai dengan hukuman 6,5 tahun penjara?” ujar Hinca kepada wartawan, Rabu (25/12).
Hinca menyebut korupsi yang dilakukan Harvey Moeis dan kawan-kawan tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga menghancurkan lingkungan dan masa depan generasi muda Indonesia.
“Timah Bangka Belitung, yang seharusnya menjadi berkah bagi daerah, justru menjadi kutukan. Korupsi ini bukan sekadar mencuri uang, ini mencuri masa depan,” katanya.
Menurutnya, hukuman 6,5 tahun penjara sangat tidak masuk akal mengingat tuntutan jaksa yang sebesar 12 tahun saja sudah dinilai terlalu ringan untuk kejahatan sebesar ini.
“Lingkungan di Babel hancur, tambang ilegal merajalela, dan rakyat hidup dengan warisan kerusakan. Lalu, hukuman hanya 6,5 tahun? Hilang sudah akal sehat,” tegas Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat ini.
Hinca juga menyoroti lemahnya penegakan hukum di Indonesia, yang menurutnya memberikan pesan buruk kepada masyarakat. Ia membandingkan hukuman ini dengan kasus pencurian kecil yang sering kali mendapat hukuman lebih berat.
“Kasus ini menunjukkan betapa lemahnya pondasi keadilan kita. Ketika pelaku korupsi skala besar hanya mendapat hukuman ringan, apa pesan yang kita kirimkan kepada masyarakat? Bahwa korupsi adalah kejahatan yang ‘aman’? Bahwa mencuri sumber daya negara jauh lebih murah risikonya dibandingkan mencuri motor di jalanan? Ini adalah preseden yang mengerikan,” ujar Hinca Panjaitan.
Hinca mendesak jaksa untuk mengajukan banding atas vonis tersebut. Ia memperingatkan bahwa keadilan yang tidak ditegakkan hanya akan memperkuat mentalitas korupsi di berbagai tingkatan.
“Dalam buku saya, #SaveBabel, saya telah memaparkan bagaimana Babel menjadi korban kerakusan dan kejahatan terstruktur. Praktik buruk ini tidak hanya menghancurkan lingkungan, tapi juga menanamkan mentalitas korupsi di setiap level,” kata Hinca.
Ia juga mengingatkan bahwa meskipun sumber daya yang dijarah mungkin bisa dipulihkan, namun luka sosial dan moral yang ditinggalkan akan sulit untuk diperbaiki.
“Jika kasus sebesar ini saja dihukum ringan, apa yang bisa kita harapkan untuk kasus-kasus lain? Ingatlah, timah yang dijarah mungkin bisa kembali, tapi rasa malu, rasa marah, sudah terlalu lama terkubur di lubang tambang,” pungkasnya.