TajukPolitik – Kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM menuai kritikan dari akademisi. Dengan harga minyak dunia yang turun, seharusnya pemerintah juga menurunkan harga BBM.
“Pada saat harga minyak dunia turun, maka harga BBM non-subsidi juga harus diturunkan!,” tegas dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi ketika merespons kenaikan harga BBM non-subsidi.
Sementara BBM jenis Pertamax (RON 92) dan elpiji melon atau LPG 3 Kg harganya tetap atau tidak naik. Terhitung sejak Senin, 11 Juli 2022, harga Pertamax Turbo (RON 98), Pertamina Dex (CN 53), dan Dexlite (CN 51), serta LPG seperti Bright Gas serempak naik. Rata-rata penyesuaian pada bahan bakar tersebut mencapai Rp2.000.
Pertamax Turbo dari Rp14.500 naik menjadi Rp16.200. Pertamina Dex dari Rp13.700 menjadi Rp16.500. Sementara Dexlite (CN 51) dari Rp12.950 menjadi Rp15.000. Harga tersebut ditetapkan untuk wilayah Jakarta atau daerah dengan besaran pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) 5 persen.
Pertamina beralasan penyesuaian harga dilakukan mengikuti tren harga industri minyak dan gas dunia. Saat ini harga minyak ICP per Juni menyentuh angka 117,62 dolar AS per barel. Ini lebih tinggi sekitar 37 persen dari harga ICP pada Januari 2022.
Sedangkan untuk LPG, tren harga (CPA) masih di tinggi pada Juli ini yakni mencapai 725 dolar AS per Metrik Ton (MT). Jumlah itu lebih tinggi 13 persen dari rata-rata CPA sepanjang 2021.
“Penyesuaian harga ini dilakukan mengikuti tren harga pada industri minyak dan gas dunia,” kata Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting ketika mengumumkan kenaikan pada Minggu (10/7/2022).
Irto mengklaim penyesuaian diberlakukan secara berkala sesuai dengan Keputusan Menteri ESDM 62/K/12/MEM/2020 tentang formulasi harga jenis bahan bakar umum (JBU). Saat ini, penyesuaian dilakukan untuk tiga produk BBM, porsinya hanya sekitar 5 persen dari total konsumsi BBM nasional. Sedangkan produk LPG non-subsidi porsinya sekitar 6 persen dari total konsumsi LPG nasional.
Fahmy Radhi menilai, jika kenaikan harga BBM dan LPG non-subsidi tujuannya dilakukan untuk menyesuaikan harga keekonomian, maka sangat wajar. Terlebih ketiga produk BBM tersebut harga keekonomiannya masih jauh dari harga yang ditetapkan saat ini.
Namun, Fahmy mengingatkan Pertamina pada saat harga minyak dunia turun, maka harga BBM dan LPG non-subsidi harus disesuaikan kembali. Sebab, dasar Pertamina menaikkan nilai jual BBM tersebut adalah merespons penyesuaian harga minyak mentah dunia.
Merujuk hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) biaya kompensasi Pertamina melonjak pada 2021 mencapai Rp68,5 triliun. Sementara masih terdapat pula Rp15,9 triliun kewajiban kompensasi pada 2020 belum dibayarkan pemerintah.
“Bagi pemerintah (kenaikan ini) bisa menurun dana kompensasi,” kata Fahmi.