TajukNasional Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi II DPR RI menerima berbagai aspirasi, masukan, dan keluhan terkait seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dari para pemangku kepentingan di Sumatera Selatan.
“Kami datang ke Sumatera Selatan untuk mendengar langsung permasalahan yang ada di lapangan. Aspirasi ini akan kami bahas lebih lanjut dengan pemerintah guna mencari solusi terbaik,” ujar Ketua Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi II DPR RI, Dede Yusuf Macan Effendi, di Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (5/2/2025).
Dede menjelaskan bahwa meskipun seleksi PPPK berjalan cukup baik, masih terdapat sekitar 300 ribu tenaga honorer yang belum mendapatkan status tersebut dari total 1,7 juta tenaga honorer di Indonesia. Sebanyak 1,4 juta tenaga honorer telah diangkat sebagai PPPK.
“Tiap tahun selalu ada tenaga honorer baru, termasuk yang sebelumnya belum terdata. Ini menjadi salah satu tantangan dalam proses penyelesaian tenaga honorer,” jelas politisi Fraksi Partai Demokrat itu.
Ia juga menyoroti tenaga non-ASN yang telah bekerja lebih dari 10 tahun tetapi belum lulus seleksi PPPK. Menurutnya, mereka yang telah lama mengabdi seharusnya mendapat kebijakan khusus.
“Bagi tenaga honorer yang masih muda, mereka bisa diberikan kesempatan mengikuti seleksi ulang. Namun, bagi yang sudah berusia lanjut dan telah mengabdi lebih dari 10 tahun, perlu ada kebijakan khusus tanpa harus mengikuti tes kembali,” tambahnya.
Dede mencontohkan seorang guru yang telah mengajar lebih dari satu dekade sering kali memiliki pemahaman dan pengalaman lebih baik dibandingkan guru yang baru lulus.
Selain itu, Komisi II DPR RI juga menerima masukan mengenai seleksi berbasis komputer yang dinilai kurang ramah bagi tenaga honorer berusia 50 tahun ke atas. Sistem ini dinilai dapat menjadi hambatan bagi mereka yang sebenarnya memiliki pengalaman dan kompetensi tinggi.
Di sisi lain, beberapa kepala daerah di Sumatera Selatan mengeluhkan skema penggajian PPPK yang masih dibebankan kepada pemerintah daerah. Persoalan lain yang diungkapkan adalah ketidaksesuaian data antara Badan Kepegawaian Negara (BKN) dengan Badan Kepegawaian Daerah (BKD), yang menyebabkan kendala dalam administrasi kepegawaian.
“Semua persoalan ini akan kami sampaikan kepada pemerintah pusat, termasuk Kementerian Dalam Negeri, BKN, dan instansi terkait lainnya, untuk dicarikan solusi terbaik,” tegas Dede.