TajukPolitik – Dorong pertumbuhan ekonomi, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo meminta pemerintah melalui Kementerian PUPR merelaksasi berbagai ketentuan yang terdapat dalam PP No.5/2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
Langkah ini merupakan respons terhadap aspirasi yang disampaikan Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (GAPENSI) serta berbagai asosiasi badan usaha lainnya yang bergerak di sektor konstruksi.
“Sebagai turunan dari UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja, PP No.5/2021 seharusnya juga menyesuaikan semangat UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja yang bertujuan mempermudah kegiatan berusaha. Namun bagi pelaku usaha konstruksi, kehadiran PP No.5/2021 tersebut justru menyulitkan mereka dalam melakukan Sertifikasi Badan Usaha (SBU),” ujar Bamsoet dalam keterangannya, Jumat (29/7/2022).
“Karenanya relaksasi perlu dilakukan. Misalnya, relaksasi persyaratan kemampuan pelaku usaha jasa konstruksi terhadap penjualan tahunan dari 3 tahun menjadi 10 tahun, mengingat dua tahun terakhir ini Indonesia dihadapi pandemi COVID-19 yang turut menyebabkan berbagai kegiatan usaha terhambat,” sambungnya.
Hal ini ia sampaikan usai menerima perwakilan GAPENSI di Jakarta, Jumat (29/7). Dalam kesempatan tersebut, Bamsoet menjelaskan sebagai gambaran, data Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Kementerian PUPR mencatat terdapat sekitar 215.860 sub-klasifikasi Badan Usaha yang akan habis masa berlakunya pada Desember 2022. Sejak beroperasinya, Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU) hingga Juni 2022 baru berhasil menerbitkan 25.701 sub-klasifikasi Badan usaha.
“Diperkirakan hingga akhir tahun 2022, hanya akan terbit 50 ribuan sub-klasifikasi. Sehingga hanya 11 persen saja jumlah sub-klasifikasi dari Badan Usaha yang bisa beroperasi, sisanya diperkirakan tidak bisa melanjutkan usaha. Kondisi ini bisa berdampak pada terganggunya realisasi pembangunan infrastruktur hingga menciptakan banyak pengangguran,” terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu mengatakan pemerintah juga harus mengatur harga terendah untuk proyek infrastruktur, sehingga tidak terjadi saling banting harga antar kontraktor yang justru menyebabkan persaingan tidak sehat dan mengurangi kualitas hasil pekerjaan.
Selain itu, perlu adanya perubahan penetapan harga penawaran penyedia jasa agar tidak hanya berdasarkan harga terendah, tapi juga mempertimbangkan syarat dan mutu barang serta jasa yang ditawarkan.
“Pemerintah juga perlu memberikan perlindungan bagi pangsa pasar usaha kecil dan menengah dengan melarang Badan Usaha Jasa Konstruksi (BUJK) yang memiliki subklasifikasi usaha dengan kualifikasi besar melakukan aktivitas usaha pada pangsa pasar kecil dan menengah,” tuturnya.
Tidak kalah penting, lanjutnya, pemerintah juga harus memberikan kemudahan pembiayaan bagi pelaku jasa konstruksi, baik melalui perbankan maupun nonbank.
“Berbagai hal tersebut akan memperkuat keberpihakan pemerintah kepada pengusaha nasional agar bisa menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Sehingga berbagai program pembangunan yang ada di Indonesia, bisa betul-betul dinikmati oleh anak bangsa sendiri,” pungkas Bamsoet.
Turut hadir dalam pertemuan tersebut di antaranya Sekretaris Jenderal GAPENSI Andi Rukman Nurdin, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Konstruksi Nasional Indonesia (GAPEKNAS) Manahara R Siahaan, Ketua Umum Asosiasi Kontraktor Nasional (ASKONAS) Muhammad Luthfi Setiabudi dan Ketua Umum Indonesian Society of Steel Construction (ISSC) Budi Harta Winata.
Hadir pula Ketua Umum Asosiasi Kontraktor Terintegrasi Indonesia (AKTI) Hendrik E Purnomo, Ketua Umum Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) Peter Frans, serta Direktur Eksekutif Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI) Basuki Muchlis.