TajukPolitik – Lembaga riset internasional, Asian Development Bank (ADB) mengungkap ada 22 juta rakyat Indonesia yang mengalami kelaparan kronis pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Namun di tengah penderitaan rakyat tersebut, banyak pejabat negara yang secara terang-terangan malah menggasak uang rakyat. Seperti skandal ratusan triliun yang terjadi di Kementerian Keuangan.
Menyikapi kondisi miris ini, aktivis pergerakan Jumhur Hidayat mengajak seluruh rakyat untuk tidak diam dan terus berjuang melawan kezaliman.
“Lapar yang dirasakan oleh orang yang sedang berpuasa itu waktunya terbatas dan jelas diketahui, yaitu saat waktu Maghrib tiba. Sedangkan lapar yang dirasakan oleh kaum fakir miskin itu waktunya tak terbatas,” kata Jumhur lewat keterangan tertulisnya, Minggu (26/3).
Ketua Umum DPP Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) itu melanjutkan, kelaparan yang dirasakan kaum papa bisa terjadi beratus-ratus waktu Maghrib. Bahkan sampai ruhnya terlepas dari badan.
“Sekali lagi camkanlah ini, agar kita tetap sadar untuk terus melawan kepada rezim despotik sekarang ini,” tegasnya.
“22 juta orang kelaparan kronis sementara uang rakyat ratusan triliun bahkan ribuan triliun digasak oleh setan-setan pejabat negara, oligarki, birokrasi, politisi busuk dan juga profesional maling hingga tak berbekas bahkan jejaknya pun mau dihapus,” pungkas Jumhur.
Komisi XI DPR RI memanggil Menkeu Sri Mulyani dalam rangka rapat kerja. Mereka membahas evaluasi program reformasi birokrasi yang telah berjalan di Kemenkeu.
Sri Mulyani awalnya memberikan penjelasan tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dalam Pasal 1 ayat 5 disebutkan, transaksi keuangan mencurigakan didefinisikan sebagai kegiatan segala sesuatu yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi, dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; dan dalam hal ini PPATK meminta untuk pelaporan dari berbagai pihak yang dianggap terlibat dengan hasil tindak pidana.