Tajukpolitik – Ekonom Senior, Rizal Ramli, mengatakan revolusi mental yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi dapat berjalan maksimal jika dilakukan dengan kebijakan yang tegas dan agresif.
Hal tersebut ia sampaikan dalam acara diskusi secara virtual pada program Crosscheck Metrotvnews.com yang bertajuk ‘Gagal, Revolusi (Kena) Mental’, Minggu (23/7).
Mantan Menteri Koordinator Bidang Maritim ini pun bercerita dan tapak tilas soal upaya dirinya mendorong revolusi mental. Pemerintah dinilai bisa berkaca dari ikhtiar tersebut.
“Waktu saya menjabat menko, saya setuju revolusi mental dan saya usahakan semaksimal mungkin,” tegas Rizal.
Rizal mengatakan jurus pertama, yakni kepret tangan kiri. Upaya itu fokus pada tindakan tegas bagi pejabat bandel agar menyadari kesalahannya.
“Karena misalnya di desa mau panen, banyak ‘tikus’ mau panen juga, kita mesti kepret sedikit supaya pada takut untuk tidak melakukan itu,” jelas Rizal.
Jurus kedua ialah membuat kebijakan-kebijakan strategis untuk membangun Indonesia. Rizal mencontohkan kebijakan menggenjot jumlah turis dari 7,5 juta orang ke 9,5 juta orang dalam dua tahun.
“Kemudian aset BUMN direvaluasi sehingga menyumbang lebih dari Rp100 triliun nilai aset tersebut,” ungkap Rizal.
Menurut Rizal strategi tegas dan kebijakan progresif penting dalam menata negara. Supaya cita-cita revolusi mental bisa tercapai.
Untuk diketahui, kebijakan yang digalakkan oleh Presiden Jokowi berjalan kurang maksimal. Selama hampir 9 tahun memimpin bangsa ini, Jokowi tak kunjung memperlihatkan keberhasilan gagasan besar revolusi mental yang ia gaungkan tahun 2014 yang lalu.
Kegagalan tersebut juga sempat disentil oleh Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh. Surya Paloh mengatakan kalau apa yang dicita-citakan oleh Jokowi tak berjalan maksimal memasuki umur pemerintahan yang berjalan 9 tahun atau 1 tahun menjelang lengser.
Padahal, dulu kebijakan tersebut menjadi primadona bagi Jokowi di periode pertama pemerintahannya. Namun sayangnya, pada periode pemerintahan yang kedua, tak terlihat keseriusan pemerintah untuk meneruskan program yang menjadi bahan kampanye unggulan tersebut.
Malahan, pemerintah justru lebih mementingkan pembangunan infrastruktur ketimbang membangun jiwa dan mental rakyat Indonesia.