TajukNasional Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Herman Khaeron, mendesak pemerintah untuk melakukan kajian yang mendalam dan menyeluruh terkait rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025.
Menurutnya, kebijakan tersebut berpotensi menambah beban masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi.
“Setiap kebijakan negara yang berdampak pada publik harus dilandasi dengan kajian yang komprehensif. Salah satu aspek terpenting yang perlu dipertimbangkan adalah daya beli masyarakat. Jangan sampai kenaikan PPN ini justru memperberat kehidupan rakyat kecil,” tegas Herman dalam keterangannya kepada wartawan, Kamis (21/11).
Dampak pada Daya Beli Masyarakat
Herman menyoroti bahwa kenaikan PPN menjadi 12% akan langsung berdampak pada harga barang dan jasa yang akhirnya menekan daya beli masyarakat. Hal ini, menurutnya, perlu menjadi perhatian serius pemerintah, terutama karena sebagian besar masyarakat masih menghadapi tantangan ekonomi sehari-hari.
“Pemerintah memang memerlukan tambahan pendapatan negara, tetapi sebaiknya dilakukan melalui cara-cara inovatif lainnya. Misalnya, dengan mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), memperluas basis cukai, atau meningkatkan investasi dan ekspor. Langkah-langkah ini bisa membantu tanpa harus menambah beban masyarakat,” ujar Ketua DPP Partai Demokrat ini.
Lebih lanjut, Herman menyarankan pemerintah untuk mempertimbangkan alternatif kebijakan guna memenuhi target pendapatan negara. Ia menyebutkan bahwa pengelolaan sumber daya alam dan penggalian potensi baru di sektor ekonomi kreatif bisa menjadi solusi jangka panjang yang lebih efektif dibandingkan menaikkan PPN.
“Ada banyak cara untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani rakyat. Pemerintah harus mencari solusi kreatif yang tidak hanya fokus pada pajak, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.
Herman juga menyinggung opsi penundaan pemberlakuan PPN 12% jika pemerintah merasa situasi ekonomi saat ini belum ideal. Ia menegaskan bahwa penundaan dapat dilakukan tanpa revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
“Penundaan ini adalah wewenang pemerintah. Jika memang kebijakan ini dirasa belum tepat waktu, pemerintah bisa menunda tanpa harus melakukan revisi UU. Ini adalah langkah yang bijak jika mempertimbangkan kondisi masyarakat saat ini,” tutupnya.
Dengan tegas, Herman berharap pemerintah mengutamakan kepentingan rakyat dalam setiap keputusan yang diambil. Menurutnya, kebijakan fiskal harus dirancang untuk mendukung pemulihan ekonomi, bukan justru menambah beban masyarakat.
Rencana kenaikan PPN menjadi 12% telah memicu berbagai reaksi dari masyarakat dan pelaku usaha. Diharapkan pemerintah dapat mengambil langkah yang tepat agar kebijakan ini tidak menghambat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.