Endang Puspita Sari
Pegiat Demokrasi & HAM
Pada tahun 2024, Jakarta akan menjadi panggung penting bagi demokrasi Indonesia dengan adanya Pilkada yang dijuluki sebagai “Pilpres Jilid II”. Parpol-parpol telah memulai langkahnya untuk menyongsong momen ini dengan mempersiapkan kandidat-kandidat potensial untuk merebut posisi sebagai gubernur di wilayah yang akan berganti nama menjadi Daerah Khusus Jakarta ini. Persaingan ini bukanlah sekadar pertarungan lokal biasa; ini adalah pertarungan yang berpotensi menjadi kelanjutan dari pertarungan nasional, Pilpres 2024.
Meskipun Jakarta akan segera kehilangan status sebagai Ibu Kota Negara, namun posisinya tetap sangat prestisius. Sebagai pusat ekonomi, Jakarta tetap akan menjadi pusat aktivitas yang vital. Beberapa kantor penting juga akan tetap berada di sini dalam jangka waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, posisi Gubernur Jakarta tetap menjadi rebutan yang sangat diincar, terutama karena hasil Pilkada Jakarta memiliki dampak yang signifikan pada pemenangan Pilpres dan Pemilu.
Sejarah mencatat bahwa hasil Pilkada Jakarta telah menjadi penentu kemenangan Pilpres di masa lalu. Contohnya, hasil Pilgub Jakarta 2012 turut menentukan kemenangan Pilpres 2014. Jokowi, yang terpilih sebagai Gubernur Jakarta dalam Pilgub tersebut, kemudian meraih jabatan Presiden. Sementara pada Pilkada Jakarta 2017, Prabowo Subianto, yang menjadi pengusung utama Anies Baswedan saat itu, berhasil memenangkan Pilpres 2024.
Momentum ini memunculkan ketegangan politik yang tinggi di antara Parpol dan tokoh-tokoh politik yang terus berlomba-lomba untuk meraih kemenangan dalam Pilkada Jakarta. Sejumlah nama calon Gubernur Jakarta telah muncul, antara lain Anies Baswedan, Ridwal Kamil, Basuki Tjahaja Purnama, Tri Rismaharini, Ahmad Sahroni, Rahayu Saraswati, Ida Fauziyah, Mardali Ali Sera, dan Basuki Hadimuljono.
Meskipun demikian, konfigurasi koalisi untuk mendukung calon Gubernur DKI masih dalam tahap pembentukan. Namun, ada indikasi bahwa sebagian Parpol akan melanjutkan koalisi mereka dari Pilpres 2024 untuk menghadapi Pilkada Jakarta. Misalnya, NasDem, PKB, dan PKS dalam Koalisi Perubahan masih terus melakukan negosiasi, meskipun belum mencapai kesepakatan mengenai calon yang akan diusung. Begitu juga dengan Koalisi Indonesia Maju yang terdiri dari Gerindra, Golkar, PAN, dan Demokrat.
Namun, ada tantangan yang perlu diatasi, terutama dalam mengatur koalisi antara PDIP dengan parpol-parpol lainnya. PDIP, meskipun terbuka untuk berkoalisi dengan pihak lain, tampaknya akan selektif dalam memilih mitra koalisi untuk Pilkada DKI. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pandangan sosial-politik antara PDIP dan Parpol yang mendukung Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024. Selain itu, PDIP juga biasanya lebih memprioritaskan untuk mendapatkan posisi Gubernur ketimbang Wakil Gubernur dalam suatu koalisi.
Dengan situasi yang kompleks ini, ada potensi besar bahwa Pilkada Jakarta akan menjadi kelanjutan dari pertarungan Pilpres 2024. Koalisi Perubahan mungkin akan bersatu kembali untuk mengusung Anies atau calon lainnya, sementara Koalisi Indonesia Maju dapat bersama-sama mengusung Ridwan Kamil atau tokoh lainnya. PDIP juga kemungkinan akan mencalonkan kader mereka sendiri.
Namun, di tengah potensi sengitnya pertarungan politik, penting untuk memastikan bahwa ketegangan ini tidak merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Hasil yang diharapkan adalah transisi politik yang stabil dan damai menuju masa depan yang lebih baik bagi Jakarta dan Indonesia pada umumnya.
Dengan demikian, Pilkada Jakarta bukan sekadar pemilihan lokal, melainkan cerminan dari dinamika politik nasional yang memengaruhi masa depan bangsa. Semoga, dalam pertarungan yang akan datang, kepentingan rakyat Jakarta dan Indonesia tetap menjadi prioritas utama bagi setiap calon dan Parpol yang bersaing.