Tajukpolitik – Ketua Umum Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFi), Redma Gita Wirawasta, mengatakan ancaman gelombang PHK atau pemutusan hubungan kerja ternyata masih menghantui industri tekstil dan produk tekstil nasional.
“Secara keseluruhan industri masih jelek, dari hulu ke hilir. Masih banyak teman-teman lain yang sejak libur Lebaran belum masuk. Liburnya diperpanjang,” ujar Redma, Jumat (5/5/2023).
“Kondisinya malah sepertinya akan tidak lebih baik dari tahun kemarin,” tambah Redma.
Hal itu, jelasnya, terlihat dari masih rendahnya utilisasi pabrik TPT, dari hulu ke hilir. Dan, tidak hanya terbatas pada industri berbasis ekspor yang terpukul akibat anjloknya permintaan.
“Di Jawa Tengah, Jawa Barat, hulu ke hilir, semua sama. Mungkin ada yang bagus, pabrik-pabrik yang pasarnya spesial/ khusus. Rata-rata pabrik itu jalan 25-35%, di bawah 50%. Untuk industri produk spesial, mungkin ada beberapa yang jalan 80%. Tapi pabrik produk spesial ini tak banyak,” jelas Redma.
Kondisi ini, kata dia, menyebabkan penyerapan tenaga kerja di industri TPT belum pulih. Bahkan, masih dibayang-bayangi potensi ancaman gelombang PHK lagi.
“Ekspor belum pulih, pasar dalam negeri diserbu impor,” kata Redma.
Hal ini pun turut diakui Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) Edy Mahmud.
Edy Mahmud memaparkan, jumlah pengangguran di Indonesia pada Februari 2023 mengalami penurunan sebanyak 410 ribu orang, menjadi 7,99 juta orang dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
“Secara umum penduduk yang bekerja di industri memang mengalami peningkatan. Namun, penduduk yang berstatus buruh atau pekerja di sektor manufaktur justru mengalami penurunan,” kata Edy Mahmud dalam keterangan pers di Jakarta, Jumat (5/5/2023).
“Jika dilihat rinci, jumlah penduduk bekerja di subsektor manufaktur tekstil atau industri barang dari kulit termasuk alas kaki, memang mengalami penurunan. Kalau melihat status, justru memang terjadi penurunan di industri manufaktur dan tekstil,” pungkasnya.