TAJUKNASIONAL.COM – Masyarakat Bali memiliki beragam tradisi adat yang erat kaitannya dengan siklus kehidupan, salah satunya menyangkut kematian.
Selama ini, publik lebih mengenal upacara Ngaben, yakni prosesi pembakaran jenazah umat Hindu Bali. Namun, ada pula tradisi Nyekah yang juga berkaitan dengan penghormatan bagi leluhur.
Dilansir dari laman resmi Kesrasetda Buleleng, Ngaben adalah upacara pembakaran jenazah yang ditandai dengan arak-arakan bade, tempat jenazah diusung, dan lembu sebagai wadah pembakaran.
Upacara ini bertujuan mengembalikan raga manusia ke asalnya, yakni panca maha butha, serta menyatukan atman dengan Sang Pencipta.
Ngaben berlandaskan filosofi panca sradha dan dimaknai sebagai wujud kasih sayang serta bakti kepada leluhur.
Prosesi Ngaben dilakukan melalui upacara atiwa-tiwa atau penyucian jenazah, yang terbagi dalam beberapa tahapan seperti munggah di kemulan, upacara pengiriman, hingga upacara di sanggah cucuk.
Sementara itu, mengutip laman resmi Desa Sangeh, Nyekah merupakan upacara lanjutan setelah Ngaben.
Tradisi ini bertujuan memutuskan ikatan roh leluhur dari unsur panca maha butha dan panca tan matra.
Dalam prosesi atma wedana, leluhur perempuan diganti dengan nama bunga seperti cempaka atau jempiring, sedangkan leluhur laki-laki diberi nama kayu seperti cendana atau ketewel.
Pelaksanaan Nyekah meliputi beberapa tahap, mulai dari ngulapin di segara untuk memohon izin Bhatara Baruna, ngajum sekah dengan membuat simbol puspa lingga sarira, hingga ngesengatau pembakaran simbol tersebut.
Rangkaian upacara ditutup dengan prosesi nganyut sekah, yaitu penyucian roh menggunakan air sungai suci yang bermuara ke laut, yang dipandang sebagai perwakilan sapta gangga.
Dengan demikian, Ngaben dan Nyekah memiliki makna berbeda namun saling berkaitan. Ngaben berfokus pada pengembalian jasad ke asalnya, sementara Nyekah menekankan pada penyucian roh agar benar-benar menyatu dengan Sang Pencipta.
Baca dan Ikuti Media Sosial Tajuk Nasional, KLIK DISINI