Tajukpolitik – Politisi Partai Nasdem, Effendy Choirie atau akrab disapa Gus Choi, mengakui kouta minimal 30 persen keterwakilan perempuan sebagai bakal calon anggota legislatif (bacaleg) dalam Pemilu 2024 masih membebani partai politik (parpol).
Meskipun begitu, Gus Choi juga mengatakan di beberapa daerah pemilihan atau dapil pihaknya dapat melebihi kuota tersebut, di dapil lainnya justru mengalami kekurangan.
“Solusinya, ya, tetap kita cari, asal perempuan. Itu, kan, namanya memang 30% ada unsur paksaan yang luar biasa. Maka kemudian karena setiap parpol menghadapi problem yang sama,” jelas Gus Choi, Rabu (26/4).
Menurut mantan politisi PKB ini, upaya meringankan beban yang dialami partai politik pada Pemilu 2024 sedikit teratasi dengan dilakukannya pembulatan keterwakilan perempuan minimal 30% ke bawah. Ini berbeda dengan penyelenggaraan pemilu sebelumnya yang dilakukan pembulatan ke atas.
Walaupun begitu, Gus Choi mengakui kebijakan 30 persen keterwakilan perempuan tersebut masih perlu dievaluasi agar perempuan tetap dapat terwakili tanpa membebani partai politik.
Sebab, lanjutnya, hampir semua partai politik pada akhirnya menyiasati kuota tersebut dengan pendekatan nepotisme.
“Akhirnya adiknya, anaknya, istrinya, yang penting perempuan. Itu mengurangi kualitas demokrasi,” pungkasnya.
Untuk diketahui, syarat minimal 30% keterwakilan perempuan itu termaktub dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10/2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPR Daerah Provinsi, dan DPR Daerah Kabupaten/Kota. Dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c dsebutkan, daftar bakal calon wajib memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% di setiap dapil.
Sementera itu, di sisi lain, peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mouliza Kristopher Donna Sweinstani mengatakan sulitnya partai politik merekrut bakal calon anggota legislatif perempuan karena partai politik itu sendiri masih terkesan maskulin.
Oleh karena itu, dibutuhkan feminisasi partai politik dengan menempatkan perempuan di sektor dan posisi strategis partai dan mengintegrasikan nilai-nilai yang berkeadilan gender.
“Kaitannya dengan pencalonan, itu akhirnya akan jadi problem ketika memang parpol itu tidak feminim. Kalau parpol feminized, di value-nya juga udah meng-include perempuan, di strukturnya ada, itu biasanya akan lebih gampang,” jelas Donna.