Rahmat Subandri
Pegiat Literasi dan Pendidikan
Tajuk Politik – Para mahasiswa di kampus-kampus negeri menghadapi anomali yang mengejutkan, biaya kuliah yang melambung tinggi. Demonstrasi merebak sebagai bentuk protes atas kenaikan drastis dalam Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan biaya pendaftaran, membuat pendidikan tinggi diakses oleh segelintir saja.
Misalnya, tarif Iuran Pengembangan Institusi (IPI) untuk jalur seleksi mandiri di Universitas Indonesia mencapai puluhan juta rupiah. Ini bukan hanya mengejutkan, tapi juga menjadikan pendidikan tinggi sebagai barang mewah yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang yang mampu secara finansial.
Kampus-kampus tertentu bahkan terus menerima mahasiswa tanpa memperhatikan keterbatasan ruang kelas dan dosen. Ini berakibat pada overcapacity di kelas, dengan dosen yang terbebani mengajar melampaui kapasitasnya.
Disebabkan oleh semangat otonomi yang berlebihan, kampus-kampus negeri telah mengkomersialisasi pendidikan tinggi. Mahasiswa dari latar belakang ekonomi rendah terpinggirkan, sementara kampus swasta mengalami penurunan jumlah mahasiswa.
Peningkatan biaya di kampus negeri seringkali disalahkan pada kebijakan otonomi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH). Padahal, semestinya badan hukum ini berprinsip nirlaba, namun kenyataannya biaya yang dikenakan kepada mahasiswa tidak kalah mahal dengan kampus swasta.
Lebih ironis lagi, PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan PTN Satuan Kerja (Satker) juga cenderung meningkatkan biaya kuliah. Jika ini dibiarkan, kampus-kampus negeri bisa berubah menjadi institusi elit yang tidak bisa dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah.
Otonomi kampus seharusnya menjadi solusi untuk meningkatkan mutu pendidikan, namun kini justru menjadi beban bagi masyarakat karena minimnya dukungan finansial dari pemerintah. Hal ini harus segera dievaluasi oleh pemerintah, dengan menetapkan komitmen anggaran yang tidak berkurang sedikit pun untuk pendidikan tinggi.
Pemerintah juga harus memastikan bahwa biaya kuliah di kampus BLU dan Satker tetap terjangkau. Kampus-kampus negeri harus kembali pada prinsip nirlaba, di mana sumber pendapatan bukanlah dari beban mahasiswa, melainkan dari hasil badan usaha dan pengelolaan dana abadi.
Otonomi kampus seharusnya tidak diarahkan pada komersialisasi pendidikan. Dosen-dosen harus menjadi suara bagi mereka yang kurang mampu, memastikan bahwa pendidikan tinggi tetap dapat diakses oleh semua orang, tanpa memandang latar belakang ekonomi. Itu adalah langkah nyata menuju pemutusan dari siklus kemiskinan struktural dan kultural.