Tajukpolitik – Pakar Hukum Tata Negara menilai Presiden Jokowi bisa dimakzulkan jika terbukti melanggar hukum terkait Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Moeldoko perihal kepengurusan Partai Demokrat.
Seperti yang disampaikan oleh Guru Besar Hukum Tata Negara sekaligus senior partner Integrity Law Firm, Denny Indrayana.
Denny menyebut menilai sikap diam Jokowi atas upaya hukum Moeldoko mengambil alih Partai Demokrat bisa menjadi pintu masuk pemakzulan.
Ia mengatakan hal tersebut merespons pendapat mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie dalam sebuah wawancara dengan salah satu media massa.
“Saya setuju dengan pendapat Prof. Jimly ini bahwa dibiarkannya KSP Moeldoko membajak Partai Demokrat harusnya bisa menjadi pintu masuk pemakzulan (impeachment) Presiden Jokowi,” tulis Denny lewat akun Twitter @dennyindrayana.
Denny menjelaskan secara hukum jika kondisi normal, DPR harus mengajukan hak angket untuk menyelidiki dugaan Jokowi memberikan persetujuan atas langkah pembajakan politik yang dilakukan oleh Moeldoko.
“Jika terbukti memang ada persetujuan Presiden Jokowi, maka proses pemakzulan berlanjut ke MK (Mahkamah Konstitusi). Jika tidak terbukti, tentu proses harus berhenti,” kata Denny.
Senada dengan Denny, Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Herdiansyah Hamzah ‘Castro’ menyampaikan hal yang sama.
Menurut Castro, PK Moeldoko bisa menjadi pintu masuk untuk Jokowi bisa dimakzulkan apabila ada bukti yang menunjukkan keterlibatan Jokowi.
“Tentu saja itu bisa jadi pintu masuk pemakzulan presiden,” kata Castro, Minggu (4/6).
Castro menambahkan dalam kondisi normal di luar momentum politik Pemilu 2024, DPR pada dasarnya sudah memiliki argumen yang cukup memadai untuk memakzulkan presiden.
Ia pun memberi penjelasan pemakzulan presiden diatur dalam Pasal 7A UUD 1945. Presiden dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden.
“Dan jika ditafsirkan, sikap diam presiden terhadap tindakan yang keliru apalagi itu dilakukan oleh bawahannya langsung, dalam hal ini kepala KSP Moeldoko, maka itu dapat dikualifikasikan sebagai bentuk ‘perbuatan tercela’. Sebab, sikap diam presiden tersebut sama halnya dengan melegitimasi atau menyetujui tindakan Moeldoko,” jelas Castro.
“Jadi, makna cawe-cawe yang kerap kali diperbincangkan itu bukan hanya ikut campur langsung terhadap peristiwa di luar kewenangannya, tetapi juga terhadap sikap diam terhadap tindakan keliru,” pungkasnya.