TajukNasional Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, yang mengusulkan perubahan pendekatan penegakan hukum korupsi dari retributif ke restoratif, menuai respons keras dari anggota Komisi III DPR RI, M. Nasir Djamil.
Nasir menilai bahwa Yusril perlu lebih berhati-hati dalam membicarakan pendekatan restoratif terhadap pelaku tindak pidana korupsi (tipikor), mengingat isu ini sangat sensitif di mata publik.
Nasir mengingatkan bahwa korupsi masih menjadi musuh utama bangsa Indonesia dan dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang melibatkan berbagai sektor, mulai dari kejahatan kerah putih, korupsi politik, hingga korupsi di sektor yudisial.
“Indeks persepsi korupsi kita turun, dan korupsi masih menjadi persoalan besar. Jadi, pembahasan tentang restoratif justice untuk koruptor bisa menimbulkan kegaduhan,” tegas Nasir, Sabtu (21/12).
Politikus senior PKS ini menyarankan agar wacana tersebut dihentikan, sebelum menimbulkan kontroversi lebih jauh.
Menurutnya, yang lebih penting saat ini adalah memperbaiki moralitas pejabat terkait dan memastikan bahwa upaya pemberantasan korupsi tetap berjalan dengan tegas.
“Jangan mengumbar hal-hal yang kontraproduktif dalam upaya pemberantasan tipikor,” tambah Nasir.
Pernyataan kontroversial ini bermula dari pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebutkan kemungkinan memberikan amnesti kepada koruptor yang mengembalikan uang yang dikorupsi.
Yusril Ihza Mahendra menjelaskan bahwa pernyataan tersebut berkaitan dengan strategi pemberantasan korupsi yang menekankan pada pemulihan kerugian negara atau asset recovery.
“Pemberian amnesti atau abolisi kepada koruptor bisa dilakukan asalkan mereka mengembalikan kerugian negara,” ujarnya.
Namun, Nasir khawatir bahwa pernyataan tersebut bisa menimbulkan kesan bahwa kejahatan korupsi dipandang remeh, padahal itu adalah masalah serius yang harus ditangani dengan tegas.