Tajukpolitik – Gugatan sistem pemilu yang sedang bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini sarat dengan kepentingan politik praktis.
Hal tersebut diungkapkan oleh Pakar Hukum Tata Negara, Atang Irawan, Rabu (22/2).
Ia menduga dorongan mengubah sistem Pemilu bagian dari upaya sejumlah pihak yang menginginkan penundaan pelaksanaan Pemilu.
Tak hanya itu, ia juga berpendapat Pemilu dengan sistem proporsional terbuka lebih dekat dengan amanah konstitusi.
Atang menilai secara konstitusional akan sulit bila MK mengambil keputusan untuk menyepakati sistem Pemilu proporsional tertutup dalam proses gugatan sistem pemilu yang sedang berlangsung saat ini.
Apalagi, tegasnya, pada putusan sebelumnya MK telah sepakat dengan sistem Pemilu proporsional terbuka karena dinilai sesuai dengan amanah konstitusi.
Menurutnya, tidak ada relevansi antara dugaan maraknya politik uang dengan penerapan sistem Pemilu proporsional terbuka. Dia menduga belum tereksposnya praktik politik uang di masa lalu, karena ketika itu belum ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sementara itu, Koordinator Divisi Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Almas Ghaliya Putri Sjafrina, mempertanyakan apakah usulan perubahan sistem Pemilu dari sistem proporsional terbuka menjadi tertutup mampu menjawab persoalan yang dihadapi saat ini.
Menurutnya, sistem Pemilu proporsional tertutup berpotensi menjauhkan rakyat dari wakilnya dan kesempatan mengevaluasi wakilnya di parlemen.
Padahal, lanjutnya, pada kondisi saat ini partai politik harus didorong agar tidak absen dalam penuntasan berbagai persoalan masyarakat. Hadirnya pemilu berbiaya tinggi, kata Almas, tidak cukup dicegah dengan mengubah sistem Pemilu semata.
Pembenahan partai politik dari sisi komitmen penguatan demokrasi dan pendidikan politik masyarakat, tambahnya, juga penting direalisasikan.