TAJUKNASIONAL.COM Dua mantan pejabat PT Pertamina, yakni Direktur Gas periode 2012–2014 Hari Karyuliarto dan Senior Vice President (SVP) Gas & Power tahun 2013–2014 Yenni Andayani, didakwa merugikan keuangan negara dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG).
Kerugian negara dalam perkara ini disebut mencapai US$113.839.186,60 atau setara triliunan rupiah.
Dakwaan tersebut dibacakan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yoga Pratomo dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (23/12/2025).
“Terdakwa I Hari Karyuliarto dan Terdakwa II Yenni Andayani melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang merugikan keuangan negara pada PT Pertamina sebesar US$113.839.186,60,” ujar jaksa dalam persidangan.
Jaksa menyebut perbuatan tersebut dilakukan bersama-sama dengan Direktur Utama PT Pertamina periode 2009–2014, Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan, yang juga telah diproses hukum dalam perkara ini.
Baca Juga: Menko PMK Pratikno: Transformasi Digital Kunci Hapus Korupsi Kebijakan
Tindak pidana dugaan korupsi tersebut terjadi di sejumlah lokasi, antara lain Kantor Pusat PT Pertamina di Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, Hotel Sheraton Bandara Soekarno-Hatta di Kota Tangerang, serta kantor Corpus Christi Liquefaction di Houston, Amerika Serikat.
Dalam uraian dakwaan, Hari Karyuliarto disebut tidak menyusun pedoman proses pengadaan LNG dari Cheniere Energy Inc. Ia juga menyetujui term sheet Corpus Christi Liquefaction yang mencantumkan formula harga tanpa mempertimbangkan harga yang sanggup dibayar calon pembeli domestik.
Hari juga didakwa menyetujui penandatanganan perjanjian jual beli LNG Train 1 dan Train 2 tanpa adanya pembeli LNG yang mengikat, tanpa kajian keekonomian, risiko, dan mitigasi, serta tanpa persetujuan direksi, dewan komisaris, maupun Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Sementara itu, Yenni Andayani didakwa mengusulkan dan menandatangani sejumlah keputusan direksi secara sirkuler terkait pengadaan LNG tanpa didukung kajian ekonomi dan tanpa adanya pembeli LNG yang telah diikat kontrak.



