TAJUKNASIONAL.COM – Anggota Komisi VI DPR RI, Herman Khaeron, menegaskan pentingnya peninjauan ulang kebijakan fiskal terhadap BUMN sektor sumber daya alam (SDA), usai melihat ketimpangan antara PT Bukit Asam (PTBA) dan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dalam hal kewajiban royalti.
Saat menghadiri Kunjungan Kerja Komisi VI di Palembang, Herman mengkritisi penerapan tarif royalti tinggi terhadap PTBA, perusahaan tambang batu bara milik negara, yang dinilai tidak seimbang dibanding Inalum yang tidak mendapat beban serupa, meskipun sama-sama memanfaatkan kekayaan alam nasional.
“PTBA terbebani royalti yang signifikan, sementara Inalum tidak. Padahal keduanya menggali tanah yang sama, tanah Indonesia,” ujar Herman Khaeron.
Politisi dari Fraksi Partai Demokrat itu menilai kebijakan semacam ini berpotensi menimbulkan ketimpangan ekonomi, terutama di tengah melambatnya pertumbuhan nasional akibat faktor eksternal seperti ketegangan geopolitik dan perlambatan mitra dagang global.
Menurut Herman, selain berdampak pada neraca keuangan perusahaan, kebijakan fiskal yang tidak seimbang turut merugikan masyarakat dan pemerintah daerah, khususnya di wilayah yang menggantungkan pendapatan dari aktivitas pertambangan.
“Kalau kebijakan ini terus berlanjut, kita bukan memperkuat ketahanan energi nasional, malah justru mengikisnya,” ucapnya.
Ia menyoroti bahwa PTBA, sebagai penyokong utama kebutuhan energi batu bara nasional, seharusnya mendapat perlindungan kebijakan, bukan tambahan tekanan fiskal.
Herman juga menyampaikan bahwa Komisi VI DPR RI akan mengangkat isu ini ke tingkat yang lebih tinggi melalui pembahasan lintas kementerian dan antarkomisi, guna memastikan ada harmonisasi dalam pengenaan beban fiskal di sektor SDA.
“Kita harus bangun sistem fiskal yang tidak diskriminatif. Perbedaan sektor harus dihitung, tapi jangan sampai menimbulkan ketidakadilan antar pelaku industri nasional,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa evaluasi terhadap kebijakan royalti harus mempertimbangkan karakteristik tiap industri, profitabilitas, serta kontribusinya terhadap ekonomi nasional secara berkelanjutan.
“PTBA terpukul dari sisi pasar dan regulasi. Kita butuh pendekatan kebijakan yang berbasis data, bukan sekadar asumsi,” tutup Herman.