TajukNasional Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI, Herman Khaeron, mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang direncanakan mulai 1 Januari 2025. Ia menilai kebijakan ini harus melalui analisis komprehensif agar tidak membebani masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah.
“Langkah ini perlu mempertimbangkan secara matang keuntungan dan kerugiannya, terutama bagi masyarakat luas,” ujar Herman di Kompleks Parlemen, Senayan.
Herman, yang juga menjabat sebagai Ketua DPP Partai Demokrat, menekankan bahwa meskipun rencana kenaikan PPN telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, pemerintah tetap memiliki opsi untuk menunda atau memodifikasi implementasinya jika dianggap memberatkan rakyat.
“Meski fokus kenaikan PPN ini dikatakan berlaku untuk pajak barang mewah, dampaknya tetap harus diperhitungkan terhadap masyarakat kecil dan daya beli mereka,” jelasnya.
Ia juga menyoroti perlunya langkah kompensasi dari pemerintah untuk melindungi kelompok rentan. “Harus ada kebijakan kompensasi yang konkret bagi kalangan menengah ke bawah agar dampak kebijakan ini tidak memperburuk kondisi mereka,” tegas Herman.
Herman meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk memberikan penjelasan yang transparan dan menyeluruh kepada masyarakat terkait alasan pemerintah tetap ingin menaikkan PPN menjadi 12 persen. Ia menekankan pentingnya menjaga daya beli masyarakat sebagai salah satu indikator keberlanjutan ekonomi.
“Sepanjang kebijakan ini tidak menurunkan daya beli masyarakat dan memastikan mereka tetap dapat bertahan, maka hal tersebut harus dijelaskan secara gamblang kepada publik,” ungkapnya.
Herman mengingatkan agar pemerintah tidak memaksakan kebijakan ini jika kajian menunjukkan kenaikan PPN akan membebani masyarakat kecil. Ia menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan opsi penundaan, pengurangan beban, atau segmentasi kebijakan yang lebih adil.
“Jika memang kenaikan PPN 12 persen ini terbukti membebani rakyat, maka pemerintah sebaiknya menunda atau mengkaji ulang kebijakan ini,” imbuhnya.
Menurutnya, keputusan akhir tetap berada di tangan pemerintah, apakah melaksanakan kebijakan ini mulai 2025, menunda, atau memberlakukan diskresi tertentu untuk segmen masyarakat tertentu. “Ini tergantung pada pilihan pemerintah, tetapi semangatnya harus tetap berpihak pada rakyat,” tutup Herman.