TajukNasional Komite Olimpiade Paris kini tengah berada di bawah sorotan tajam setelah keputusan kontroversial mereka yang memungkinkan Israel berpartisipasi dalam Olimpiade Paris 2024. Keputusan ini semakin menimbulkan kontroversi karena Israel dianggap sebagai pelaku genosida oleh beberapa pihak internasional.
Sementara itu, Rusia dilarang mengikuti Olimpiade Paris oleh Komite Olimpiade Internasional (IOC) karena dianggap melanggar Piagam Olimpiade setelah invasi Kremlin ke Ukraina pada 2022.
Ketua Komite Olimpiade Palestina, Jibril Rajoub, secara terbuka mengecam keputusan IOC yang dianggapnya penuh dengan standar ganda. Dalam pernyataannya, Rajoub menuntut boikot terhadap Olimpiade Paris melalui surat resmi yang dikirimkan kepada IOC awal pekan ini. Namun, tuntutan tersebut ditolak oleh Ketua IOC, Thomas Bach.
“Keputusan ini menegaskan adanya lembaga internasional yang terus menerapkan standar ganda dan tidak mematuhi Piagam Olimpiade serta prinsip-prinsip moral yang seharusnya dipegang,” kata Rajoub saat tiba di Bandara Charles de Gaulle Paris bersama delegasi olahraga Palestina. Para atlet Palestina disambut oleh sekitar seratus orang dengan kurma dan teriakan “Free, Free Palestine!”.
Rajoub menyatakan bahwa Israel, menurut pandangannya, telah kehilangan hak moral dan kemanusiaan untuk berpartisipasi dalam Olimpiade. Ia juga mengecam tindakan militer Israel di Gaza sebagai kejahatan genosida dan pembersihan etnis.
Menanggapi situasi ini, Jansen Sitindaon, seorang praktisi hukum dan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, mengungkapkan keprihatinannya mengenai keputusan IOC. Dalam cuitan di X, Sitindaon menyoroti ketidakadilan dalam keputusan tersebut dengan menyebut bahwa Mahkamah Internasional telah memutuskan Israel bersalah atas genosida di Gaza, sementara Rusia, yang juga terlibat dalam konflik dengan Ukraina, dilarang mengikuti Olimpiade.
“Israel diizinkan berpartisipasi dalam Olimpiade, sedangkan Rusia secara resmi dilarang. Padahal, jumlah warga sipil yang terbunuh di Ukraina—setahuku, mohon koreksi jika salah—lebih sedikit dibandingkan di Gaza,” tulis Sitindaon.
Ia menilai bahwa Israel mendapatkan impunitas hukum yang tidak adil, padahal Mahkamah Internasional telah menyatakan mereka bersalah.
“Inilah yang membuat Israel tidak akan pernah jera. Dapat impunitas “pembebasan hukum” terus. Padahal Mahkamah Internasional saja sudah memutuskan mereka bersalah,” sambung Jansen.
Sitindaon menegaskan bahwa seharusnya kedua negara, baik Israel maupun Rusia, dilarang dari partisipasi Olimpiade untuk memastikan keadilan. “Tanpa pengecualian, keduanya harusnya dilarang. Atau jika tidak, keduanya harus diizinkan berpartisipasi. Itu baru adil. Sehingga kalimat ‘tidak ada politik dalam olahraga, yang ada hanya sportivitas,’ bisa terbukti,” tegas Sitindaon.
Kontroversi ini mencerminkan ketegangan global yang melibatkan politik dan olahraga, serta menyoroti tantangan dalam menegakkan prinsip-prinsip moral dan hukum internasional di arena internasional.