TajukPolitik – Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menghadiri Milad ke-47 Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berlangsung Selasa (26/7) malam, di Hotel Sultan Jakarta.
Milad ke-47 MUI ini merupakan rangkaian penguatan ukhuwah dan kekuatan umat yang dirajut dalam bingkai kemerdekaan. Tema Milad kali ini adalah “Merajut Kesatuan dan Kekuatan dalam Bingkai Kebinekaan”. AHY mengenakan batik biru dan peci hitam saat tiba beberapa waktu sebelum acara dimulai.
“Saya mengucapkan selamat milad untuk MUI. Semoga peran MUI sebagai mitra pemerintah dan juga pelayan umat bisa terus menjadi modal yang kuat dalam menjaga kebinekaan yang ada di Indonesia,” kata AHY.
Pada acara Milad tersebut, MUI sekaligus meluncurkan program “Wakaf, Infak, dan Sedekah ala Pesantren”. Selain itu, yang unik, ada Paduan Suara Mahasiswa UIN Jakarta yang menampilkan Medley lagu persatuan, yang terdiri dari beberapa lagu daerah di penghujung acara tersebut.
Setelah acara selesai, AHY terlihat melayani permintaan swafoto dari beberapa undangan lain, sebelum akhirnya berpamitan untuk meninggalkan tempat acara.
Acara tersebut juga dihadiri oleh Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, Wakil Ketua Umum MUI Marsudi Suhud, Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas, Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid, Ustadz Maulana, Ketua Baznas RI KH. Noor Achmad, Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi, Pimpinan Badan dan Lembaga Negara, Pimpinan Ormas Islam tingkat pusat, Pimpinan Perguruan Tinggi Islam, Pengasuh atau Pimpinan Pondok Pesantren, serta beberapa Duta Besar (Dubes) Negara sahabat, diantaranya Dubes Kerajaan Saudi Arabia, Dubes Malaysia, Dubes Aljazair, dan Dubes Maroko. Sementara hadir secara virtual, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.
Lahirnya MUI dilatarbelakangi dengan kesadaran kolektif para pemimpin umat Islam akan kebutuhan landasan kokoh untuk membina dan membimbing masyarakat muslim di Indonesia. Sebelum MUI berdiri, sudah muncul beberapa pertemuan yang melibatkan ulama dan tokoh Islam.
Menurut Hanif Luthfi dalam buku Mengenal Lebih Dekat MUI, pertemuan tersebut ditujukan untuk mendiskusikan gagasan akan pentingnya suatu majelis ulama yang menjalankan fungsi ijtihad kolektif. Sekaligus sebagai wadah yang dapat memberi masukan dan nasihat keagamaan pada pemerintah dan masyarakat.
Salah satu pertemuan yang digelar adalah konferensi dari Pusat Dakwah Islam pada 30 September 1970. Dalam konferensi inilah lahir gagasan pembentukan majelis dari presentasi makalah salah seorang ulama fikih kenamaan kala itu, Prof KH Ibrahim Hosen.
Saat itu, Kiai Ibrahim mengutip keputusan Majma’ Buhuts al Islamiyyah yang menyinggung tentang pentingnya melakukan ijtihad kolektif. Namun, Buya Hamka yang juga seorang penyaji dalam konferensi, menolak gagasan tersebut dengan dalih pelibatan sarjana sekuler di dalamnya.
“Buya Hamka merekomendasikan kepada Presiden Soeharto agar memilih seorang mufti yang akan memberikan nasihat kepada pemerintah dan umat Islam di Indonesia,” bunyi buku terbitan Lentera Islam tersebut.
Untuk itulah pada konferensi tahun 1970, Pusat Dakwah Indonesia hanya mengambil gagasan dalam konferensi sebagai bahan pertimbangan. Tidak ada keputusan untuk pembentukan majelis.
Hingga pada konferensi tahun 1974 yang digelar lagi oleh Pusat Dakwah Indonesia, gagasan pentingnya pendirian majelis ulama kembali menguat. Presiden Soeharto bahkan memberi saran perlu dimulai dari rekomendasi ulama di tiap provinsi untuk mengisi majelis ulama tersebu.
Kelahiran Piagam Berdirinya MUI dalam musyawarah para ulama, cendekiawan, dan zu’ama menjadi tonggak awal berdirinya MUI. Musyawarah itu pun sekaligus tercatat sebagai Musyawarah Nasional (Munas) yang pertama.
Munas MUI pertama tersebut dihadiri oleh 26 ulama yang mewakili 26 provinsi di Indonesia, 10 ulama perwakilan Ormas Islam tingkat pusat, 4 ulama dari Dinas Rohani Islam Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan juga POLRI, serta 13 orang tokoh atau cendekiawan yang hadir secara pribadi sebagai undangan khusus.
Meski sempat menolak gagasan awal pendirian MUI, Buya Hamka pada akhirnya menyetujui gagasan Kiai Ibrahim. Bahkan, Buya Hamka kemudian ditetapkan sebagai pemimpin MUI yang pertama pada periode 1977-1981.
Saat ini, MUI dipimpin oleh KH. Miftachul Akhyar untuk periode 2020-2025. Terpilihnya KH. Miftachul terpilih melalui Munas ke-10 MUI pada 26 November 2020 lalu.