TajukPolitik – Koordinator Persatuan Advokat Nusantara, Petrus Selestinus menganggap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman lakukan pelanggaran kode etik dan pidana.
Seperti diketahui MK dibanjiri kritik seiring putusan yang membuat norma baru dalam pengujian UU perihal syarat usia calon presiden dan wakil presiden. Putusan MK terkait usia capres-cawapres dianggap mengandung pelanggaran pidana dan kode etik.
Petrus Selestinus mengatakan setidaknya terdapat 3 dugaan pelanggaran, yakni conflict of interest, nepotisme, dan manipulasi putusan.
Menurut Petrus, pihaknya pernah meminta Ketua MK Anwar Usman untuk mengundurkan diri dari 7 perkara uji materi batas usia capres-cawapres. Sebab, ditengarai itu berkaitan dengan Gibran sehingga terdapat konflik kepentingan.
Sesuai Pasal 17 Ayat 5 UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa seorang hakim wajib mengundurkan diri bila berkepentingan langsung dan tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa. Dalam ayat selanjutnya, jika ada pelanggaran tersebut, putusan dianggap tidak sah dan hakim dikenai sanksi administratif atau dipidana sesuai perundang-undangan.
Selain itu, putusan MK itu menunjukkan adanya manipulasi putusan. Sebab, terdapat tiga
kubu hakim. Empat hakim menolak, dua hakim memaknai berpengalaman sebagai gubernur serta menyatakan perubahan batas usia wewenang DPR, dan tiga hakim setuju.
’’Seharusnya putusan MK tidak bisa menerima karena hakim terbelah dalam tiga kubu,’’ jelasnya, Rabu (18/10).
Namun, Anwar Usman justru memasukkan 2 hakim menjadi setuju. Sehingga, ketua MK diduga melakukan pelanggaran masif dan terstruktur. ”Karena itu, kami akan laporkan ke Dewan Kehormatan MK dan Bareskrim untuk pidananya,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua SETARA Institute, Hendardi menilai MK sudah menyimpang dari fungsinya dalam desain ketatanegaraan Indonesia pada era Reformasi. Menurutnya, MK diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 menjadi Benteng Konstitusi yang bertujuan menegakan keadilan konstitusional.
“Putusan terakhir MK tentang syarat calon presiden dan wakil presiden, adalah akumulasi penyimpangan yang dilakukan Mahkamah Konstitusi, didalam menguji berbagai peraturan perundang-undangan,” kata Hendardi dalam Webinar Moya Institute, Rabu (18/10).
Beberapa contoh penyimpangan yang dilakukan MK misalnya adalah kerap membentuk norma baru, atau ultra vires. Hal ini, menurut Hendardi, tak seharusnya dilakukan oleh MK.
Kemudian, kata Hendardi, integritas MK juga rendah dalam menjaga tidak timbulnya konflik kepentingan dalam memeriksa perkara. “Dalam hal ini, MK telah mempromosikan constitutional evil atau kejahatan konstitusional, atau yang lebih soft nya lagi bisa dimaknai sebagai keburukan konstitusional,” ujar Hendardi.