Tajukpolitik – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), mengkritik revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang mengizinkan prajurit TNI dan anggota Polri bisa menduduki jabatan ASN di instansi lain.
Hal tersebut diungkapkan oleh Koordinator Kontras, Dimas Bagus Arya, Jumat (6/10).
Dimas menyebut UU ASN yang baru ini sebagai pembangkangan terhadap hukum dan semangat reformasi yang menghendaki penghapusan dwifungsi ABRI serta penguatan terhadap supremasi sipil.
“Dalam aspek substansial, diperkenankannya TNI-Polri menduduki posisi pada ASN merupakan jalan pemerintah untuk mengembalikan hantu dwifungsi TNI-Polri sebagaimana terjadi pada zaman Orde Baru,” ujar Dimas, (6/10).
Kontras juga mengatakan, hal ini menempatkan TNI dan Polri tidak profesional. Terlebih lagi, tidak ada kedaruratan yang signifikan untuk menempatkan prajurit dan polisi di dalam tubuh ASN.
“Sebagai contoh, dalam pelibatan TNI dalam domain sipil, harus dalam kerangka Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Dalam OMSP, tidak ada yang mengatur pelibatan prajurit TNI sebagai ASN,” kata Dimas.
“Ditempatkannya TNI-Polri hanya akan memperparah situasi di tengah problematika kedua institusi yang masih menumpuk, khususnya berkaitan dengan kultur kekerasan. Kami pun mengkhawatirkan pendekatan keamanan dan pelibatan pasukan akan semakin masif dilakukan seiring dengan pelibatan TNI menjadi ASN di jabatan tertentu,” tambahnya.
Kontras juga menyoroti potensi kekaburan hukum lantaran tumpang tindih aturan terkait dibolehkannya tentara menjjadi ASN. Padahal, jika merujuk kedua UU tersebut, secara jelas dalam UU TNI, khususnya dalam Pasal 47 ayat (1) disebutkan bahwa “Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan”.
Selain itu, dalam konteks Polri, merujuk pada Pasal 28 ayat (3) UU Polri menyebutkan bahwa “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian”.
Dalam penjelasan pasal tersebut juga ditegaskan bahwa makna dari jabatan di luar kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut-paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.
“Norma tersebut sangat jelas melarang anggota Polri yang statusnya masih aktif untuk mengambil tugas di luar urusan Kepolisian. Seorang perwira harus mengundurkan diri terlebih dulu, baru dapat menerima tugas memegang tugas memimpin suatu daerah” jelas Dimas.