TajukPolitik – Ahli hukum tata negara Refly Harun mengkritik putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus)yang perintahkan KPU untuk menunda tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Isu penundaan Pemilu masih terus membayangi para politisi yang dianggap sudah siap menghadapi kontestasi tahun 2024. Beberapa pengamat hukum nasional bersuara dan menganggap adanya kekeliruan pada keputusan PN Jakpus pada 2 Maret 2023 lalu.
Salah satunya pengamat politik dan ahli hukum tata negara Refly Harun. Ia mengkritik serius terkait putusan dari PN Jakpus dengan anggapan bahwa hal itu merugikan berbagai pihak, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk sejauh ini sudah menjalankan proses Pemilu.
“Keputusan PN Jakarta Pusat penting untuk diketahui ini putusan yang “gila”. Karena bagi saya, satu, ini hakim memutuskan sesuatu yang bukan kompetensinya. Jadi di luar kewenangan,” katanya, dilansir dari kanal YouTube Refly Harun, diunggah pada 14 Maret 2023.
Putusan penundaan Pemilu diyakininya bukan kompetensi PN Jakpus. Seharusnya untuk menilai penundaan atau kelanjutan Pemilu perlu dibahas bersama pemerintah dan parlemen karena berkaitan dengan konstitusi.
Apalagi putusan itu berawal dari laporan partai Rakyat Adil Makmur (partai Prima) yang menemukan adanya kekeliruan dalam proses Pemilu dari KPU. Menurut Refly, putusan hasil laporan tersebut seharusnya hanya mengikat pada dua pihak yang menjadi pelapor dan terlapor untuk diselesaikan.
“Putusan ini terlalu berlebih-lebihan, karena putusan ini judulnya PMH (putusan melawan hukum) itu kasus perdata. Kalau privat harusnya hanya mengikat pihak yang bersengketa saja,” ujar Refly Harun.
Salah satu poin putusan PN Jakpus terkait laporan partai Prima kenyataannya mengikat semua pihak, sehingga diberikan usulan penundaan Pemilu atau mengulangi semua proses tahapan dari awal.
Refly Harun menduga hanya ada dua kemungkinan terjadi pada hakim pengambil putusan tersebut. Bisa jadi hakim lupa terhadap kompetensinya dalam memutuskan penundaan Pemilu, atau ada pihak mengintervensi jalannya proses hukum di PN Jakpus.
“Nggak mungkin lah dai nggak mengerti mengenai kompetensi peradilan. Maka saya katakan ini hakim kalau nggak “bodoh” banget, pasti dia diintervensi, ada pihak lain yang mempengaruhi. Kalau dia “bodoh” banget nggak mungkin. Karena biasanya kasus-kasus seperti ini diserahkan kepada hakim senior. Hakim senior rasanya terlalu picik untuk mengatakan dia tidak mengerti. Lulusan S1 saja mengerti soal seperti ini,” kata Refly Harun.